MORUT – Serikat petani Petasia Timur Morowali Utara (Morut) menuntut selesaikan konflik agraria struktural antara PT ANA dan Petani.
Selain itu mereka menuntut tarik pasukan Brimob di areal lahan petani,tolak penerbitan hak guna usaha (HGU) PT ANA di atas lahan petani. Hentikan kriminalisasi terhadap petani,terjaminnya HAM hak atas rasa aman terhadap petani dan konflik petani dan PT ANA bukan persoalan pidana, tapi perdata, kepolisian jangan ikut campur.
Salah satu badan pimpinan Serikat Petani Petasia Timur Ambo Endre mengatakan, petani sawit selalu dilaporkan ke pihak berwajib terkait pencurian buah sawit, sementara mereka (petani) memiliki atas hak dan asal usul tanah jelas seperti telah diatur dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960.
“Perusahaan selalu mengklaim secara sepihak lahan para petani, tidak hanya itu, pihak aparat (Kepolisian) selalu mengedepankan pidananya, padahal persoalan ini adalah perdata, antara petani dan perusahaan. Apalagi perusahaan tersebut tidak memiliki HGU,” bebernya.
Di sisi lain dialog dan demontrasi sebut dia, telah beberapa kali disuarakan kepada para pemangku kebijakan di Kabupaten maupun di Provinsi. Namun sampai saat ini, suara sumbang dari petani seakan angin lalu bagi para Pengurus Negeri ini.
“Tim Provinsi dibentuk untuk penyelesaian konflik agraria antara petani dan PT ANA seakan mati suri,” ucapnya.
Sehingga pihaknya tergabung dalam Serikat Petani Petasia Timur Kabupaten Morowali Utara dengan kesekian kalinya melakukan aksi secara damai, sebagaimana amanat UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.
Noval A. Saputra mengatakan, keprihatinan pihaknya terhadap para petani sawit kerap menjadi korban dari keganasan eksploitasi Perusahaan perkebunan sawit.
“Selain itu juga sebagai rasa kekecewaan kami terhadap Negara terkesan lamban dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Sehingganya membuat petani makin tersingkir dari sandaran hidupnya akibat akumulasi dan ekspansi perusahaan besar dengan kekuatan modalnya,” tutur Noval dalam keterangan tertulis diterima MAL Online.
“Mari kita galang persatuan, Petani adalah tulang punggung bagi sebuah peradaban, hampir semua hidangan kita konsumsi diatas meja makan adalah hasil dari keringat para petani. Apabila petani sudah kehilangan sandaran hidupnya tanah, maka ibarat tikus mati dilumbung padi,” tambahnya.
Selama ada petani diluar sana, dirampas, ditindas dan dipenjarakan. Lengkingan suara keadilan akan terus menggetarkan bumi”
Eskalasi Konflik Agraria Struktural di Sulawesi Tengah (Sulteng) makin meningkat, investasi pertambangan dan perkebunan sawit skala besar menyisahkan berbagai problem ekonomi, sosial dan lingkungan.p
Tak jarang berimbas pada penangkapan, pemenjaraan hingga kehilangan nyawa bagi para petani karena mempertahankan lahannya.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG