PALU- Serikat Petani Petasia Timur meniliai, surat Gubernur Sulteng Nomor: 500.801/235/Ro.Hukum melepaskan 282,74 hektare (Ha) lahan PT ANA untuk dikembalikan kepada petani di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut), tidak berkeadilan dan amburadul.
Aktivis agraria Eva Bande menilai penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dan PT.ANA, menceritakan, perjuangan melawan PT ANA dimulai sejak adanya laporan Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng Oktober 2021. Dari situlah Pemprov membentuk tim untuk penyelesaian konflik.
“Saya sangat menyayangkan proses berlangsung dalam langkah tahapan penyelesaian konflik ini,” kata Koordinator FRAS Sulteng Eva Bande saat konferensi pers Serikat Petani Petasia Timur – Sulteng di Ebe Coffe Shop, Jalan Lapata, Desa Kalukubula, Kabupaten Sigi, Kamis (9/5).
Ia menginginkan, mestinya proses pemeriksaanya terang benderang. Apalagi perusahaan tersebut tidak memiliki izin HGU.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 138 PPU 2015 dan Undang-undang nomor 39 tentang perkebunan dan pasal 114, sebut dia, perusahaan belum memiliki HGU melakukan penyesuaian. Jika selama 2 tahun tidak melaksanakan penyesuaian, maka aktifitasnya dinilai ilegal.
Pun dalam Undang-undang Cipta kerja pasal 110 (A) juga memberikan penyesuaian selama tiga tahun.
Olehnya ujar dia, tidak ada alasan Pemprov melaksanakan proses mediasi. Yang ada, mestinya penegakkan hukum dan penertiban bisa dilakukan terhadap PT ANA.
Selanjutnya kata dia, kembalikan semua hak petani sesuai data pihaknya masukkan data subjek maupun objek sejak 11 September 2023. Luasan lahan 740 ha dengan jumlah 370 KK tersebar di empat desa, yakni Desa Tompira, Desa Bunta, Desa Bungintimbe dan Desa Towara.Semua diberikan haknya tanpa kompromi.
“Nah kalau begini,ada kecurigaan kongkalingkong,”ujarnya.
Kemudian kata dia, ada ruang lingkup korupsi , bila perusahan tidak memiliki HGU pasti tidak membayar pajak.
Olehnya kata dia, jangan hanya rakyat terus diuber-uber mana datanya, SKPT dan lainnya, sementara perusahaan tidak diuber.
“Kita tidak menolak investasi, tapi berinvestasi lah dengan benar. You boleh berbisnis di daerah kami, tapi you harus taat pada ketentuan yang lain. Jangan menghilangkan hak keperdataan atau hak agraria rakyat,” tegasnya.
Ketua Serikat Petani Petasia Timur (SPPT) Ambo Enre menyangkan proses penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dan PT ANA tidak transparan dan partisipatif, sebab tidak pernah dilibatkan. Padahal, dalam pembentukkan tim reverivikasi dan revalidasi, SPPT dan FRAS sebagai pengawas.
“Intinya proses reverivikasi dan revalidasi tidak pernah kami tahu, dan secara tegas saya menolak semua proses reverivikasi dan revalidasi dilakukan oleh Kades, Pemda Morut serta Pemprov Sulteng,” tegasnya.
Bahkan sebut dia, lahan anggota serikat Petasia ada pengurangan dari harusnya 2 hektare hanya mendapatkan 1,25 hektare, khususnya desa Bunta.
Olehnya kata dia, pihaknya mendesak tim pemerintah lebih transparan dan partisipatif serta berpihak pada masyarakat dalam proses penyelesaian bagi desa di antaranya Bungintimbe, Tompira, Towara.
Dia juga mempertanyakan, langkah berkompromi dengan perusahaan sawit beroperasi sejak 2007 itu, padahal hingga hari ini tidak mengantongi izin.
Ia juga menyesalkan Pemprov meminta kepada BPN untuk menerbitkan hak guna usaha (HGU) PT ANA. Sementara regulasi berlaku HGU dulu baru beroperasi, bukan beroperasi baru HGU belakangan.
Ambo Tang menilai salahsatu poin kesepakatan isinya unsur pemerintah tidak lagi memediasi, jika ada klaim masyarakat. Lalu kalau ada masyarakat punya keluhan pemerintah tidak mau mediasi, bagaimana nasib masyarakat.
Perwakilan masyarakat Towara Arif meminta ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa Petasia Timur dalam melakukan verivikasi dan validasi.
“Kami inginkan supaya ada keterbukaan informasi kepada seluruh pemerintah desa ada diwilayahb Petasia Timur, sebab dari Pemdes Towara tidak pernah memasukan mengusulkan lahan-lahan masyarakat Towara lalu gimana kedepannya,”imbuhnya.
Di konfirmasi terpisah Humas PT Astra Prasetyo Edho Wibowo belum memberikan respon.
Tenaga ahli Gubernur Sulteng menjadi mediator dalam konflik agraria masyarakat dan PT ANA Ridha Saleh menjelaskan, terkait reverivikasi dan revalidasi dilaksanakan di desa secara berjenjang, dan menurut informasi kades semua pihak diundang serta dilibatkan, termasuk pemilik lahan.
“Dan dalam mediasi Ambo Enre hadir mewakili salahsatu kelompok dan menyepakati beberapa hal,” kata Edang sapaan akrabnya, saat dikonfirmasi Jumat (10/5).
Ia mengatakan, kritikan disampaikan FRAS hal baik sebagai masukkan untuk penyelesaian bagi desa lainnya.
“Kami ucapkan terima kasih kepada FRAS sudah memberikan masukkan, dalam upaya penyelesaian secara sungguh-sungguh masalah berlangsung belasan tahun,” katanya.
Olehnya ia meminta pada FRAS memberikan data-data ada dalam sengketa. Sebab selalu ada klarifikasi dari desa, hingga membuat pihaknya kesulitan mengambil keputusan.
Ia juga meminta kepada FRAS menyampaikan fakta-fakta telah dilakukan pemerintah selama ini. Misalnya apakah pemerintah benar-benar lepas tangan, dalam penyelesaian tersebut.
“Kami bekerja, diamkan atau abaikan gitu loh,” katanya.
Ia mengakui, kalau PT ANA tidak miliki HGU dan ilegal, tapi sudah ada kebun inti dan plasma, yang mereka dorong dikembalikan kepada masyarakat.
Dan selebihnya diminta ke PT ANA untuk dilegalkan, sebab selama ini mereka mendapat izin perpanjangan pemanfaatan lahan dari Pemerintah Kabupaten setempat.
“HGU belum bisa diterbitkan, sebab pemanfaatan lahan digunakan belum clear and clean,”imbuhnya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG