OLEH: Mohamad Nasir*
Ada banyak pengalaman bersama Allahuyarham Habib Sayyid (HS) Abdillah Al Jufrie (Abi) selama saya mondok sekitar tujuh tahun (1985-1992) di Ponpes Putra Alkhairaat Pusat Palu.
Almarhum Abi misalnya sering mengajak santrinya, termasuk saya pada saat kunjungan atau berdakwah di desa-desa sekitar kota Palu atau bahkan di luar Kota Palu.
Dari sekian pengalaman tersebut, saya ingin menyampaikan satu kisah tentang bagaimana tingginya dedikasi dan komitmen Abi terhadap pengembangan Alkhairaat dan pendidikan pada umumnya.
Sekitar akhir tahun 1991 atau awal tahun 1992, almarhum Abi diundang untuk meresmikan madsarah Alkhairaat di Mamuju, yang saat itu masih merupakan bagian dari Sulawesi Selatan.
Abi kemudian mengajak saya, Ustadz Zainuddin Tambuala, Lc., M.A, dan Abdullah Assagaf. Selain itu terdapat sepasang suami istri, Guru Madrasah Alkhairaat Mamuju (yang datang mengundang Abi). Sayyid Salim bin Abdillah Al Jufrie juga ikut serta.
Kami mengendarai mobil Abi (Toyota Hardtop berwarna merah) yang dikemudikan oleh Ustadz Burhan (Dolo, saat ini berdinas di Pemda Parimo).
Kami berangkat seusai menunaikan shalat dzhuhur, karena almarhum Abi masih harus menyelesaikan beberapa urusan sebelum berangkat.
Kondisi jalan saat itu belum begitu bagus dan selepas Ashar kami baru memasuki perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Jalanan semakin sepi dan tidak ada lagi kenderaan lain yang kami temui sepanjang perjalanan. Saat matahari mulai tenggelam, kami harus melewati jalan ber-rawa yang memintas hutan sagu.
Saat itu, mobil yang kami tumpangi selip lalu terperosok ke dalam lubang rawa dan sulit untuk keluar meski mobil hardtop milik Abi mempunyai sistem tenaga penggerak pada keempat rodanya (4WD).
Kami berusaha mengeluarkan mobil dari kubangan rawa dengan peralatan seadanya, tapi gagal. Seluruh pakaian kami basah dengan keringat dan lumpur, termasuk Abi.
Kendaraan kami terjebak dalam rawa dan tidak bisa keluar tanpa ada bantuan dari mobil lain.
Hari mulai gelap dan kami hanya bisa berdoa agar ada mobil yang lewat -meski sepertinya mustahil, mengingat hampir tidak kenderaan yang melewati jalur tersebut di malam hari.
Sekitar jam tujuh malam ada mobil lewat dari arah yang berlawanan (dari arah Mamuju) dan hanya sekedar berhenti dan menanyakan kondisi dan tujuan kami. Sang sopir minta maaf karena tidak bisa membantu karena dia tidak membawa peralatan yang dibutuhkan untuk menarik mobil, selain itu dia sedang terburu-buru menuju Pasangkayu.
Kami berempat (saya, Ust. Zainuddin Tambuala, Abdullah Assagaf dan Ust. Burhan) mulai khawatir mengingat kami harus bermalam di tengah hutan sagu dan dikelilingi air. Tetapi Alm. Abi menenangkan kami dan mengatakan apa yang kami alami belum seberapa dibanding perjuangan Habib Idrus (Guru Tua) dalam berdakwah dan mengembangkan Alkhairaat.
Abi kemudian mengajak kami untuk shalat (jamak) bergantian di dalam mobil, mengingat kondisi di luar tidak memungkinkan untuk shalat, karena ketinggian air mencapai separuh ban mobil hardtop! Kamipun harus bermalam di tengah hutan sagu, tanpa penerangan sedikitpun.
Kami berempat memutuskan untuk berjaga di luar mobil dan mempersilahkan Abi, Salim, dan suami istri Guru Madrasah Alkhairaat Mamuju untuk istirahat di dalam mobil.
Karena kondisi mobil yang terendam dalam rawa, kami berjaga dengan kedinginan (karena pakaian basah) sambil duduk di kap depan mobil, ditemani gigitan nyamuk dan suara-suara aneh hewan hutan sepanjang malam.
Abi, sepertinya juga tidak tidur, karena sesekali beliau menurunkan kaca jendela mobil menanyakan kondisi kami.
Alhamdulillah, keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi, mobil yang semalam lewat datang menolong menarik mobil kami keluar dari kubangan rawa. Setelah memastikan bahwa mobil kami bisa jalan, kami kemudian beriringan menuju Mamuju.
Sampai di tempat tujuan hampir jam sepuluh dan masyarakat ternyata sudah gelisah menunggu.
Abi sendiri, seingat saya, hanya sempat membersihkan diri sekedarnya, berganti baju dan kemudian meresmikan pembukaan madrasah, bahkan beliau melanjutkan dengan berceramah dan silaturrahim dengan pengurus Alkhairaat hingga malam hari. Kami sendiri, memilih beristirahat karena kelelahan dan kurang tidur.
Apa yang begitu berkesan bagi saya adalah sikap Abi yang sedikitpun tidak mengeluh atau terlihat lelah.
Saat kembali pulang menuju Palu, saya sempat menanyakan apakah Abi tidak merasa lelah, mengingat perjalanan kami sangat melelahkan, baik fisik maupun psikis.
Jawaban Abi membuat saya terdiam. Beliau mengatakan bahwa melihat madrasah Alkhairaat berdiri dan sambutan masyarakat yang luar biasa telah menghilangkan rasa penat dan kantuk beliau.
Perjalanan selama tiga hari tersebut meninggalkan kesan yang mendalam dan pelajaran berharga bagi saya.
Pertama. Saya menyaksikan bagaimana kecintaan, dedikasi dan komitmen yang luar biasa dari Alm. HS Abdillah Al Jufrie terhadap Alkhairaat.
Lokasi yang jauh dengan akses yang sulit tidak menyurutkan tekad beliau. Bahkan, seingat saya, undangan untuk meresmikan madrasah itu hanya disampaikan sehari sebelumnya oleh sepasang suami istri guru madrasah yang datang menemui Abi di Palu.
Saya meyakini, Abi pasti membatalkan beberapa agenda demi menghadiri undangan tersebut.
Kedua. Almarhum Abi bagi saya bukan hanya seorang guru, tetapi juga tauladan tentang seorang pendidik dalam melakukan kaderisasi. Jika mau, seharusnya Abi mengajak pengurus PB Alkhairaat karena akan meresmikan madrasah Alkhairaat, akan tetapi Abi lebih memilih santrinya untuk menyertai beliau.
Saya yakin, Alm. Abi ingin mengajarkan sekaligus menunjukan kepada kami tentang suka-duka dalam mengembangkan dakwah dan Alkhairaat.
Ketiga. Bagi saya pribadi, Alm. Abi mengajarkan sikap leadership (kepemimpinan) yang luar biasa.
Saat mobil kami terjebak dalam di rawa misalnya, Abi tidak hanya berpangku tangan, tetapi ikut masuk ke dalam rawa, berusaha mengeluarkan mobil dari rawa. Atau saat kami kelelahan pada saat tiba di tempat tujuan dan memilih beristirahat setelah acara peresmian madrasah, Abi justru terus berkegiatan menemui pengurus Alkhairaat dan tokoh masyarakat untuk membicarakan pengembangan Al Khairaat di daerah tersebut.
Leadership yang ditunjukkan Alm. Abi mengingatkan saya akan pepatah kuno Belanda bahwa: “Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden” Jalan memimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin itu menderita.
HS Abdillah Al Jufrie boleh jadi telah meninggalkan murid-muridnya, tetapi pelajaran, tauladan, dan kenangan yang diwariskan akan selalu terpatri dalam ingatan kami, para santrinya.
Balikpapan, medio November 2023.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Balikpapan/Peneliti pada Department of Anthropology and Development Studies, Radboud University, Nijmegen, Belanda/Murid HS. Abdillah Al Jufrie