Sepenggal Kisah Negeri Seribu Megalit

oleh -
Iksam, seorang Arkeolog Sulawesi Tengah sedang berpose di samping Patung Palindo. (FOTO: DOK. PRIBADI)

Lembah seribu megalit. Sebutan itu sangatlah pantas menjadi julukan bagi Lembah Napu, Lembah Besoa dan Lembah Bada. Ketiga wilayah itu disebut pula Tanah Lore. Banyak terdapat megalit yang merupakan peninggalan purbakala bernilai sejarah dan kebudayaan.

Lore, sebutan bagi dataran yang berada pada ketinggian antara 700-1700 meter dari permukaan laut yang masuk dalam wilayah Kecamatan Lore Utara dengan Ibu Kota Wuasa, Kecamatan Lore Tengah dengan Ibu Kota Doda dan Kecamatan Lore Selatan dengan Ibu Kota Gintu, 200 kilometer dari Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Penduduk setempat biasa disebut To Lore (Orang Lore) atau sebutan Pekurehua di wilayah utara. Tetapi dari ketiga wilayah tersebut terdapat empat etnis yang masing-masing disebut pula suku Tawaelia di Sedoa di Lore Utara, suku Napu di Lembah Napu (Lore Utara), suku Behoa (Lore Tengah) dan suku Bada (Lore Selatan).

Ketiga nama etnis terakhir menunjukkan identifikasi bahasa daerah dan nama lembah sesuai topografi kawasan tersebut. Tetapi dalam pemetaan etnis dan logat dari tim penulisan Monografi Sulawesi Tengah yang dipimpin budayawan Masyhuddin Masyhuda tahun 1975, Orang Lore dibagi dalam kelompok berbahasa Kaili dialek Tawaelia, orang Lore berbahasa Bada dan orang Napu berbahasa Kaili dialek Tawaelia dan orang Lore berbahasa Napu mendiami sebagian eks Distrik Besoa.

Beberapa abad lamanya, Tanah Lore berada dalam pemerintahan Kerajaan Sigi di Lembah Palu. Namun sejak masa Pemerintahan Belanda (1903), wilayah ini mulai memisahkan diri dengan membentuk Kerajaan Lore yang berpusat di Wanga, dipimpin Raja Kabo dan istrinya Mpolite.

Sejak itu pula secara adminstrasi pemerintahan dimasukkan dalam wilayah Onder Afdeling Poso.

Secara geografis tiga lembah di Tanah Lore berada dalam wilayah Kabupaten Poso dengan topografi dataran tinggi sebagian kawasannya masuk dalam area konservasi Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL).

Kawasan Napu dan Besoa dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor dan kendaraan mobil dari arah selatan Kota Palu melintasi Lembah Palolo (Kabupaten Sigi).

Selanjutnya dari Lembah Besoa dapat menuju Lembah Bada dengan berjalan kaki sambil menikmati panorama alam. Selain itu dapat pula menggunakan jalur jalan dari arah timur yaitu lewat Tentena, Pamona Utara.

BACA JUGA :  Hilangnya Pangan Lokal dan Dampaknya bagi Masyarakat Ngata Toro

Di Lembah Napu, Lore Utara dan Besoa Lore Tengah terdapat banyak megalit, tersebar di bukit-bukit berpadang ilalang di sejumlah desa tua, di antaranya di Desa Wanga, Watutau, Maholo, Torire, Doda, Hanggira, Lempe, Katu, Bariri dan sejumlah area yang belum terjamah.

Itu belum termasuk di Lembah Bada, Lore Selatan yang memiliki lebih 10 situs megalit yang tersebar di berbagai desa.

Beberapa bentuk megalit berupa patung, menggambarkan patung manusia berbagai ukuran dan bentuk, patung monyet dan patung kerbau sera kalamba yang fungsinya untuk penampungan air, penguburan dan penyimpanan barang berharga.

Selain patung, banyak ditemui batu dakon atau lumpang batu yang permukaannya rata atau cekung, memiliki banyak lubang dari ukuran kecil sampai yang besar. Fungsinya sama halnya lesung atau cobekan yang digunakan untuk menumbuk makanan atau ramu-ramuan (obat) zaman dahulu.

Ada pula megalit berbentuk penyangga rumah dan batu-batu ukir semacam simbol atau asesoris.

Selain bentuk patung adalah Kalamba berbentuk cupu besar dan polos yang berfungsi tempat penyimpanan tulang-tulang manusia zaman purba dan sebagian menjadi penampung air.

Menurut Iksam, seorang arkeolog dari Museum Negeri Sulawesi Tengah, Kalamba merupakan bahasa Lore kuno yang berarti “perahu.”

“Fungsinya untuk penguburan dipercaya sebagai perahu arwah sebagai simbol untuk menuju ke suatu alam dewa,” kata Iksam.

Ukurannya bermacam-macam, ada yang tingginya satu meter dengan lebar dua meter keliling, bahkan ada yang berukuran setinggi ukuran manusia umumnya dengan bentuk silinder.

Sebagian kalamba ada yang terbuka seperti sumur sehingga setiap hujan selalu berisi air, ada pula memiliki penutup seperti penutup panci yang terbuat dari batu. Diperkirakan memiliki berat puluhan ton, sehingga sulit mengangkatnya dengan tenaga manusia.

Banyak Kalamba yang tertutup tidak bisa dibuka, semakin menambah misteri apa yang terdapat di dalamnya. Kecuali beberapa Kalamba tanpa penutup di Lembah Behoa sudah diketahui isinya, di antaranya berupa tulang-tulang manusia. Salah satunya terdapat di Desa Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah.

Di Lembah Behoa inilah terletak Patung Tadulako, patung setinggi 2 meter, patung terbesar di Behoa berada di atas bukit yang ditumbuhi padang ilalang, di tengah sawah penduduk Desa Doda.

BACA JUGA :  Donor Darah di Lokasi Milad Alkhairaat, PMI Kumpulkan 38 Kantong

Tadulako melambangkan pemimpin perang yang kesatria, kepahlawanan, keperkasaan dan keteladanan yang penuh kebijakan.

Patung Tadulako yang sekitarnya terdapat dua buah Kalamba berukuran besar, satu yang terbuka dan satunya tertutup yang selalu mendapat perhatian setiap pengunjung situs.

Kalamba terbuka selalu berisi air, sedangkan yang tertutup tidak diketahui isi dalamnya, karena untuk membuka penutupnya yang terbuat dari batu, juga cukup berat.

Tak kalah menariknya sebaran megalit adalah di Lembah Bada yang ukuran dan bentuknya juga beragam. Salah satunya patung Sepe yang terdapat di kampung Sepe yang tingginya lebih dari 4 meter.

Patung megalit ini bentuknya miring seperti duplikatnya berada di halaman depan Museum Negeri Sulteng di Jalan Sapiri, Palu Barat.

Selain di Doda, Lore Tengah terkenal dengan patung Tadulako di desa sekitarnya terdapat pula sebaran megalit seperti di Desa Hanggira, Lempe dan Bariri. Di desa ini paling banyak terdapat patung manusia, patung monyet, patung kerbau dan kalamba yang lokasinya disebut padang Pokokea dan Baleura.

Di padang Pokokea banyak terdapat kalamba yang berukuran tinggi dan besar dibanding di situs lainnya.

Berusia Ribuan Tahun

Siapakah pembuat benda-benda megalit itu? apakah orang Napu? orang Behoa dan Bada sendiri? Atau ada orang yang sengaja datang khusus membuat patung? Apa tujuan mereka membuat patung, kalamba, batu dakon, lumpang batu dan sejenisnya?

Jika yang membuat peninggalan tersebut adalah leluhur orang-orang yang sekarang tinggal di sana, kenapa generasi saat ini tidak memiliki tradisi megalit? Atau pernah terjadi keterputusan generasi, sehingga mereka tidak memiliki lagi hubungan dengan generasi ribuan tahun silam?

Pertanyaan itu hanyalah sebagian dari setumpuk misteri yang selalu menarik dikaji, baik masyarakat setempat maupun para ilmuan dari dalam dan luar negeri.

Meskipun sudah banyak arkeolog dan antropolog dari dalam dan luar negeri melakukan penelitian megalit yang umumnya berada di ketinggian antara 1000-1700 meter dpl ini, tapi masih selalu menarik diteliti sekaligus menjadi objek wisata.

BACA JUGA :  Legislator Sulteng Ikuti Orientasi, Yus Mangun: 90 Persen Dapat Hal Baru

Mahakarya yang tersebar di Napu-Besoa dan Bada selalu mengagumkan bagi pengunjung, terutama bagi turis mancanegara maupun peminat kebudayaan.

Sebetulnya perhatian para ahli sudah berlangsung sejak lama, pertama kali diteliti dan dilaporkan oleh DR. Albertus Cristian Kruyt dan DR Nicolas Adriani tahun 1898. Keduanya antroplog asal Belanda sebagai pekerja zending di Tanah Poso.

Berkat inventarisasi dalam bentuk laporan yang pertama dilakukan keduanya itulah, sehingga keberadaan megalit-megalit di Kabupaten Poso itu makin dikenal dan mengundang minat berbagai kalangan.

Umumnya, tempat-tempat megalit berada di atas bukit yang sekitarnya sama sekali tidak terdapat batu besar sejenis untuk bisa dijadikan bahan baku patung. Keanehan mengundang tanya, bagaimana cara orang-orang zaman prasejarah itu memperoleh batu?

Apakah patung-patung itu dibuat di suatu tempat dimana terdapat banyak batu besar, lalu diusung ke atas bukit? Atau didahului dengan pengusungan batu ke atas bukit, lalu dipahat dalam berbagai bentuk?

Corak benda-benda megalit tersebut, terutama patung, terlihat cara pembuatannya masih sangat sederhana dan agak kasar hasil pahatannya. Bentuk atau gambaran suatu sosok patung, baik patung manusia, patung monyet atau patung kerbau, selain kasar, juga bercorak abstrak.

Tidak seperti patung-patung yang ada di sejumlah candi-candi kuno di Jawa, gambaran patung manusia selain pahatannya lebih halus, juga agak realis ketimbang di Napu, Behoa dan Bada.

Karakter tersebut menunjukkan bahwa bukan saja pemahaman artistik si pembuat patung berwawasan sederhana, tapi peralatan (pahat) yang dipakai sangat sederhana. Dipastikan peralatannya pun terbuat dari batu-batu yang lebih kuat dari pada yang dipahat.

Beberapa catatan seperti disebutkan Masyhuddin Masyhuda seorang budayawan Sulteng, menyebutkan pembuatan patung-patung mengalit tersebut diperkirakan berlangsung antara 2000-500 tahun sebelum Mesehi (SM).

Bahkan ada yang memperkirakan jauh sebelumnya, megalit itu sudah ada. Secara hipotesa, pembuatan dan fungsi megalit tersebut merupakan karya monumental.

Sebuah peradaban modern pada zamannya seperti halnya di Mesir Kuno atau Suku Maya di Amerika sebelum masehi, mereka sudah memiliki ilmu pengetahuan sangat tinggi pada zamannya.

Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay