PALU  – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan MUI Provinsi se-Indonesia telah mengeluarkan maklumat terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

MUI menolak keberadaan RUU HIP karena dinilai mendegradasi Pancasila menjadi Ekasila.

Menurut MUI, tidak dicantumkannya Tap MPRS Nomor: 25 tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), sama artinya dengan persetujuan terhadap pengkhianatan bangsa tersebut.

RUU HIP adalah Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila yang pada Rapat Paripurna 12 Mei 2020 disepakati untuk dibahas menjadi RUU inisiatif DPR.

Senada dengan MUI Pusat dan provinsi lainnya, MUI Sulteng juga menyatakan menolak RUU tersebut untuk dibahas.

“Ketika menyusun maklumat tersebut, seluruh MUI Provinsi dilibatkan dalam membahas, meski hanya dilakukan secara daring oleh pengurus MUI pusat maupun daerah. Jadi sikap MUI Pusat itu merupakan cerminan dari sikap MUI seluruh daerah yang ada,” tegas Sekretaris MUI Sulteng, Dr Sofyan Bachmid, Rabu (17/06).

Olehnya, kata dia, jika ditanya bagaimana sikap MUI Sulawesi Tengah, maka jawabnya adalah maklumat MUI Pusat itu sekaligus merupakan maklumat MUI secara keseluruhan.

“Sikap tersebut bukan merupakan sikap MUI pusat saja, namun menjadi sikap MUI seluruh Indonesia,” katanya.

Hal senada juga dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Prof Dr. Zainal Abidin.

Bila melihat draft RUU HIP yang ada, kemungkinan kembalinya organisasi terlarang itu sangat terbuka, jika TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tidak dimasukkan dalam RUU tersebut.

“DPR tidak harus gegabah membahas RUU HIP itu, jika  diteruskan pembahasanya perlu ada perbaikan konsiderannya, sebab kebanyakan ormas menolak RUU HIP tersebut. Kita umat  beragama tidak hanya Islam, akan berusaha semaksimal kemampuan agar RUU itu dibatalkan,” kata guru besar IAIN Palu itu.

Ia mengatakan, para anggota DPR  harus benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat, karena mereka adalah wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa. Tidak kalah pentingnya, persatuan nasional dan  keutuhan NKRI  adalah harga mati.

Selain itu kata dia, menyangkut Pasal  7 Ayat 2, Ketuhanan yang Berkebudayaan, tentu sangat tidak sesuai nilai-nilai  kepribadian bangsa yang religius.

Ia menyebutkan, 5 sila dari Pancasila itu sudah sangat relevan dengan nilai-nilai  luhur dan kepribadian bangsa. Nilai-nilai Pancasila sudah menyatu dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Maka tidak ada alasan untuk menekan Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Empat pilar kebangsaan harus tercermin dalam keputusan dan produk perundang-undangan,” tekannya. (RIFAY/IKRAM)