OLEH: Nasrullah Muhammadong*

        Judul diatas, diambil dari sepenggal kalimat yang ditulis oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam buku “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (1995:78). Lebih lengkap ditulis sebagai berikut: Padahal semestinya mereka berteri­ma kasih kepada Islam, karena di bawah Islamlah, sejak Umar ra, kaum Yahudi kembali bebas berdiam di Yerusalem, setelah ratusan tahun terus-menerus dihalangi dan ditindas oleh bangsa-bangsa lain.

Sejarah Kelam

Sebelum mengupas maksud paragraf di atas, Marilah sedikit menengok masa kelam kaum Yahudi. Dalam catatan sejarah, kira-kira tahun 606 SM, tentara Babilonia di bawah pimpinan Nebukadnezar datang menguasai Palestina, sekaligus melakukan penghancuran terhadap masjid Al-Aqsa. Bukan hanya itu. Ribuan orang Yahudi dibunuh. Yang sempat lolos, melarikan diri (di antaranya) ke Yatsrib atau Madinah. Yang sempat hidup, dibawa ke Babilonia untuk dijadikan budak. 

Dalam perjalanan selanjutnya, wilayah Palestina silih berganti menjadi daerah jajahan bangsa lain. Antara lain, mulai dari Alexander Agung-Macedonia, Yunani (330 SM); Mesir (301 SM); dan Assiria (199 SM).

Pada tahun 142 SM, bangsa Yahudi berhasil merebut kemerdekaan dari tangan Assiria. Tapi itu tidak sampai seabad, karena bangsa Romawi datang menjajah mereka pada tahun 63 SM. Adapun bangunan masjid Al-Aqsa menjadi megah kembali ketika Yerusalem di bawah pemerintahan Herodes, seorang raja Yahudi yang taat kepada Roma.

Namun, pada tahun 70 M, kaum Yahudi mencoba melakukan pemberontakan kepada Romawi. Tapi ini dapat dipatahkan oleh Titus, komandan militer Romawi ketika itu. Titus tidak hanya membunuh dan menindas orang Yahudi, tapi juga memporak-porandakanmasjid Al-Aqsa.

Di bangunan itu masih sempat berdiri sebuah tembok, dan itulah yang dinamakan  “tembok ratap”. Kini menjadi salah satu tempat ibadat kaum Yahudi, sambil meratapi nasib mereka dahulu.

Penghancuran yang dilakukan oleh kaisar Titus tersebut, mengawali masa diaspora Yahudi. Mereka diusir oleh Titus dan dilarang tinggal di seluruh wilayah Palestina. Orang Yahudi mengembara dan terlunta-lunta hampir di seluruh dunia, tanpa tanah air.

Masuknya Islam

Palestina dikuasai oleh Romawi hingga tahun 640 M, sampai datangnya Islam menguasai wilayah tersebut. Menarik yang ditulis Rizki Ridyasmara, dalam buku “Knights Templar Knights of Christ” (2006: 85-86). Bahwa, pasukan muslim masuk dengan menghindari pertumpahan darah, mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota suci. Sementara kaum Kristen yang mempertahankan kota tersebut, juga sadar mereka tidak mampu menahan kekuatan pasukan muslim yang datang ketika itu.

Teristimewa bagi Patriarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius. Ia hanya ingin menyerahkan kota suci Yerusalem ke tangan seorang tokoh yang terbaik di antara kaum muslimin. Ia menunjuk Khalifah Umar bin Khattab, juga meminta agar amirul mukminin itu datang langsung ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kunci kota suci tersebut.

Perjanjian Aelia

Setelah melalui musyawarah (terutama saran dari Ali bin Abi Thalib), maka datanglah Khalifah Umar ke Yerusalem. Di kota suci itu, Umar membuat perjanjian yang sangat fenomenal, bernama “Aelia”.

Isi perjanjian itu, antara lain berbunyi: “Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka.

Selanjutnya perjanjian itu menegaskan: “Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka.

Namun ada yang menarik dari kelanjutan perjanjian tadi, yaitu tertulis: “Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi”.

Menurut Cak Nur dalam “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (1995:86), menulis, permintaan pelarangan atas orang Yahudi itu berasal dari Shophronius sendiri. Namun Umar tetap tegas dengan mengatakan: “tidak berarti orang Yahudi dilarang tinggal di kota Yerusalem”.

Dari perjanjian itu, akhirnya wilayah Yerusalem dibagi menjadi empat bagian. Yaitu, 1) wilayah Islam (terbesar), yang mencakup pula kompleks al-Haram al-­Syarif dengan Shakhrah-nya; 2) wilayah Yahudi de­ngan Tembok Ratapnya; 3) wilayah Kristen Yunani dengan gereja Holy Sepulcher-nya dan 4) wilayah Kristen Armenia.

Sekali Lagi Cak Nur

Masih dalam buku yang sama, Cak Nur, menulis: “Begitulah, dan dari kisah itu nampak betapa zhalimnya kaum Yahudi dan kaum Imperialis Barat yang membantu mereka, yang ingin merebut dan menguasai al Masjid al Aqsa, kemudi­an menghancurkannya dan mendirikan Haykal Sulayman yang baru.

Selanjutnya dikatakan: “Padahal semestinya mereka berteri­ma kasih kepada Islam, karena di bawah Islamlah, sejak Umar ra, kaum Yahudi kembali bebas berdiam di Yerusalem, setelah ratusan tahun terus-menerus dihalangi dan ditindas oleh bangsa-bangsa lain.

*Penulis adalah Ketua Jurusan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu.