‘Selamat Pagi Indonesia’ Sajak Menjelang Senja di Ajang Tadulako Neolitikum Voice

oleh -
Dari kiri: Dea, Tiara, Rivan, Brila, dan Lala (FOTO: media.alkhairaat.id/Iker)

Menjelang senja sajak Sapardi Djoko Damono hadir dalam Tadulako Neolitikum Voice, di halaman depan auditorum Universitas Tadulako (Untad).

Sajak yang berjudul ‘Selamat Pagi Indonesia’ dibacakan adik-adik Sikola Pomore Palu, Jumat (12/08).

Penonton duduk berkelompok-kelompok saling berjarak. Tidak ada suara ketika pembawa acara memanggil adik-adik Sikola Pomore untuk bersiap di belakang pelantang.

Mereka adalah Dea (15), Tiara(12), Rifan (12) Brila (8) dan Lala (16).

Memakai baju hitam sebagai pakaian dasar, ditambahkan kain panjang bercorak yang dililitkan serupa rok dan celana, keempat anak itu tampil sempurna.

Sore yang tenang menjadi riuh penuh sorak, ketika baris demi baris sajak Sapardi keluar dari tubuh mereka melalui suara, mimik wajah dan gerakan tubuh.

Di belakang panggung napas mereka sedikit berkejaran usai tampil. Sore itu adalah kali kedua mereka tampil membawakan puisi di depan publik dalam acara besar. Kali pertama di Sikola Pomore di Anja.

Sesungguhnya mereka telah tampil di depan banyak orang lain sejak lama, sejak proses belajar mengajar mereka di Sikola Pomore.

Di belakang panggung, Fira, pendamping adik-adik sikola pomore mengungkapkan keharuannya kepada kami. Matanya berkaca-kaca ketika ia bilang kelima anak itu tampil dengan sangat baik. Pasalnya ketika latihan, mereka banyak bermain.

“Saya tidak menyangka mereka bisa tampil dengan baik, ekspresi mereka dapat, intonasi mereka juga bagus. Padahal selama latihan mereka kebanyakan ketawa, bikin emosinya kita yang melatih mereka tidak stabil,” ujar Fira pendamping adik-adik Sikola Pomore sekaligus mahasiswa Prodi Bahasa Inggris angkatan 2020.

Penampilan Dea dan kawan-kawan sangat baik secara siginifikan, mengingat proses mereka belajar sudah cukup lama, mulai kelas puisi digagas, di mana mereka belajar menulis puisi, tampil membacakan puisi mereka di acara sore puisi, dan acara-acara lain yang digiatkan Sikola Pomore.

“Hari ini mereka seperti membuktikan diri, membuktikan keberanian mereka. Mereka sudah lama belajar, tampil di depan umum agar memupuk rasa percaya diri. Kalau dilihat dari mereka tampil sekarang itu mereka cukup signifikan, mulai dari latihan mimik wajah, intonasi, keberanian juga,” imbuh Fira.

Selain puisi dari adik-adik Sikola Pomore yang menggandeng Sapardi hadir di kampus dekat teluk itu, srikandi dari Bengkel Seni Balia Fakultas Hukum Untad membius hari yang nyaris malam. Mereka membawakan tarian yang diberi judul ‘Ruang Mimpi’.

Gerakan tangan, tubuh, kaki dari ketika penari Dea, Ara, dan Naya adalah manifestasi tubuh perempuan yang ingin merdeka tetapi hanya terjadi dalam mimpi digambarkan dengan gerakan tertidur.

Gerakan tari mereka seperti kaki yang lincah mendefinisikan bahwa perempuan seharusnya dapat bebas bergerak di dunia nyata.

“Tarian itu memberikan pesan, bahwa sebenarnya di dunia nyata pun, wanita itu seharusnya bisa merasa lebih bebas, termasuk dalam berpakaian untuk mengekspresikan diri bagaimana pun dia. Tapi di awal tarian itu kita menceritakan tentang hal yang menyenangkan itu hanya terjadi di dalam mimpi saja. Makanya ada gerakan seperti orang tertidur,” terang Dea.

Memakai kostum yang didominasi warna hitam dan dilengkapi dengan payet-payet kuning di beberapa bagian, ketiga perempuan itu bangun dari tidur dan kembali menari dengan tempo irama lebih cepat.

Pada bagian itu, mereka ingin menegaskan kembali bahwa perempuan dapat berekspesi, tidak melulu dalam mimpi yang hanya bunga tidur.

Gerakan demi gerakan dalam tarian Ruang Mimpi diciptakan oleh ketiganya, dengan mencari inspirasi dari youtube, juga para senior-senior mereka. Mereka menghabiskan waktu kurang lebih dua purnama untuk berlatih sebelum akhirnya mereka menampilkan Ruang Mimpi kepada khalayak.

Ruang Mimpi adalah bentuk protes dan kampanye kebebasan perempuan dalam berpimpi, bergerak, juga berpakaian yang Dea, Ara dan Naya orasikan melalui gerakan tubuh.

Hadirnya gerakan-gerakan itu diciptakan dari rasa ketidakadilan yang dialami perempuan termasuk juga berangkat dari kasu-kasus kekerasan seksual.

Tadulako Neolitikum Voice adalah sebuah pagelaran karya Komunitas Seni Tadulako yang dilaksanakan selama dua hari, Jumat sampai Sabtu (11 – 12/08) di auditorium Untad.

Selain pementasan seni seperti tarian Ruang Temu dan Musikalisasi Puisi, beberapa acara lainnya juga digelar seperti seni visual grafis, pameran fotografi dan lukis, pemutaran film dokumenter, seni seni pertunjukan multimedia, dan lainnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay