TIDAK ada persoalan yang paling membuat warga menjadi sangat cerewet selain persoalan pemadaman listrik tiba-tiba dan lama. Kecerewetan itu tingkatannya jauh di atas segala perkara. Jika listrik padam, disambut maki-makian kepada siapapun yang mereka anggap berwenang, maka itu lumrah. Ya! karena listrik saat ini sudah bukan lagi kebutuhan sekunder dalam kehidupan manusia.
Membayangkan lampu mati selama sehari saja hati meradang, apalagi merasakannya seperti akhir-akhir ini. Hidup seolah membatu dan sepi. Sebab sekarang ini tanpa listrik manusia seperti tiada dapat bergerak. Mandi dan mencuci baju tertunda, tentu bau badan, aih sungguh terlalu… Bekerja juga terhambat sebab di zaman teknologi sekarang ini, apa-apa listrik dibutuh.
Bahkan komunisasi akan terasa kian payah. Diakui pola komunikasi saat ini telah berganti era. Bayangkan saja, dalam sebuah survey Aliansi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) di mana terdapat lebih dari setengah penduduk Indonesia aktif berselancar di dunia maya. Dari 252,6 juta penduduk, pengguna internet sebanyak 132,7 juta. Walau spesifik Sulawesi Tengah tidak dipaparkan, paling tidak survey tersebut menunjukkan perpindahan pola wicara. Kebutuhan ini menjadi terganggu, karena perangkat teknologi putus nyawa dan akhirnya kita susah bersaudara.
Bila dipapar mana-mana saja hajat hidup yang terbengkalai sebab matinya listrik, pasti banyak terungkap. Lantas bilamana keadaannya begini, bagaimana kita bersikap?
Sebagian masyarakat kita sudah tahu, asbab gulitanya Palu akhir-akhir ini, yaitu adanya kerusakan pada SUTT. Laju air bandang dan angin kencang membuat tower transmisi Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) rebah, patah rangkanya, dan tercerai berailah sambungan kabelnya.
Musibah memang tak dapat ditebak. Takdir Tuhan tak dapat ditolak. Kita terima Takdir Tuhan itu, bila memang nantinya kita berhari-hari harus kehilangan cahaya. Namun tidak berarti bila semua pasrah, lantas kita berprinsip “ya sudah perbaiki saja”. Jangan main-main dengan kebutuhan manusia. Mestilah awas bila ada yang cela.
Ahli Teknik Struktur seperti H Syaifullah Djafar mengernyitkan dahinya. Baginya robohnya tower SUTT 150 kilo volt milik PLN di Poso tidak lumrah. Janggal sekali katanya, dimensi pondasi tower tersebut tampak terlalu kecil memikul bentangan kabel yang melahirkan beban momen yang sangat besar. Angker dari tower ke pondasi terlihat sederhana dan hanya tampak satu saja. Akibatnya kekuatan tekan beton pada konstruksi pondasi sangat lemah sehingga nampak pecah. Selain itu, pemadangan konstruksi tower terlampau rapuh dan sobek, menunjukkan mutu yang rendah.
Disambung Kepala Dinas PU Bina Marga Sulteng, semestinya dimensi pondasi tidak seragam atau sama ukurannya. Tiap titik tower mestinya berbeda, tergantung dari karateristik tanah setempat, apalagi bila yang rawan daerahnya.
Amatan para pakar itu harus jadi bahan timbang. Apakah memang demikian ada yang timpang. Bila iya, maka kemungkinan ratusan tower-tower yang saat ini masih perkasa berpotensi tergelimpang. Tinggal tunggu momen bencana, barulah kembali kita diresah dan kembali berang. Cerca serapah kembali tercurah untuk PLN dan Pemerintah yang mestinya disayang.
Sebagai penikmat cahaya, kita tidak ingin ‘human error’ itu nyata. Sungguh, harapan kita dalam soalan ini hanya karena musibah saja. Sehingga memang dugaan kontruksi yang salah berasal dari prasangka salah pula.
Oh iya, pemerintah konon sudah berusaha mendatangkan tower darurat dari propinsi tetangga. Alhamdulillah…. Tapi kalau nanti tak kunjung teratasi, ya sudah mungkin “mereka” yang berwenang atau berkuasa bukanlah ahlinya. Selamat menanti nyala. (NURDIANSYAH)