Sekjen PB: Guru Tua Mampu Mengintegrasikan Nilai Ajarannya di Tanah Kaili

oleh -
Jalannya seminar kebangsaan, di Gedung Almuhsinin, Kompleks PB Alkhairaat, Jumat (07/07). (FOTO: MAL/NANANG IP)

PALU – Sekertaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, Dr H Lukman S Thahir, mengatakan, Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua, mampu mengintegrasikan atau menyatukan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam nilai-nilai adat istiadat dan budaya yang berkembang di Tanah Kaili.

Hal itu disampaikan Sekjen pada kegiatan Seminar Kebangsaan, Penguatan Iman dan Takwa, Mengitegrasikan Islam dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Palu yang Berbudaya dan Berkeadaban, di Gedung Almuhsinin, Jumat (07/07).

Guru Tua, kata Sekjen, tidak langsung menyatakan bahwa adat istiadat yang berkembang di Tanah Kaili ini bertentangan dengan ajaran yang dibawanya.

“Tapi ajarannya selalu berjalan seiring, tanpa mendeskreditkan nila-nilai kearifan lokal. Misalnya dulu orang melakukan pengajian atau belajar mengaji dari rumah ke rumah, dengan ejaan Bahasa Bugis. Tapi Guru Tua tidak menyatakan bahwa hal itu salah. Jika ada ajarannya  yang berbenturan dengan adat istiadat Tanah Kaili ini, maka dia tidak pernah mengatakan salah komiu punya ajaran ini, tidak pernah,” ungkapnya.

Hal ini pula yang membuat Guru Tua begitu dicintai dan dihormati orang Kaili. Sebab, Guru Tua tidak pernah hanya bisa berucap, tetapi melakukannya dengan tindakan.

“Inilah yang memuluskan proses integrasi Islam di masyarakat Kaili sampai sekarang. Daerah ini juga menjadi terkenal sampai ke mancanegara,” kata Sekjen.

Sementara Wali Kota Palu, Hidayat, menjelaskan, masyarakat Kaili sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan. Di tahun 1970-an, dirinya masih merasakan nilai-nilai kekeluargaan itu.

“Saat panen kelapa di lembah Palu kala itu, kalau kita lewat dan meminta satu kelapa, maka tuan kelapa akan memberikan empat buah. Tapi sekarang, nilai-nilai itu mulai luntur tergerus zaman,” katanya.

Sementara budayawan Kaili, Tjajo Tuan Sjaichu yang turut menjadi narasumber seminar,  menjelaskan, watak asli masyarakat Kaili adalah tidak memandang pendatang sebagai orang lain, melainkan sebagai satu keluarga. Harta yang dimiliki bahkan dibagikan-bagikan begitu saja kepada pendatang,” jelasnya.

Sejak awal, kata dia, watak orang Kaili adalah anuku anumu. Maksudnya, harta anda adalah harta saya, boleh saya bagikan siapa saja yang saya ingini, dan sampai sekarang masih terjadi.

“Contohnya di Kampung Baru, mertua saya kasih tanah kepada seseorang dan sudah dibangunkan rumah turun temurun, begitu kebiasaan orang Kaili,” pungkasnya. (NANANG IP)