PALU- Sekretaris Jenderal (Sekjen ) Forum Umat Islam (FUI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyatakan proses hukum terhadap penembakan Qidam Alfariski Mowance dilakukan oknum aparat jangan hanya selesai sampai proses sidang kode etik, tapi bisa sampai ke pidana umum.
“Sebab ada beberapa kasus melibatkan aparat dugaan salah tembak hanya selesai pada proses sidang kode etik dengan sangsi penundaan mengikuti pendidikan, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, nutasi yang bersifat demosi dan pembebasan dari jabatan, tidak sampai ke pidana umum,” kata Sekjen FUI Sulteng Iman Sudirman dalam diskusi online virtual mengangkat tema “Poso, Terorisme dan Keadilan di Negeri ini,” digagas Young Celebes dengan moderator Siddiq Robani, Sabtu (13/6) malam.
Iman Sudirman mengatakan, hal tersebut tidak memberikan rasa keadilan kepada keluarga korban. Sejak pelaporan Irwan Mowance ayah Qidam ke Polda Sulteng pada 13 April , pihak keluarga baru menerima SP2HP dua kali. Hal ini menandakan lambannya penanganan kasus tersebut.
Dirinya turut melakukan pendampingan pelaporan, usai pelaporan turun melakukan investigasi ke lapangan.
“Dari fakta didapatkan di lapangan dan saksi-saksi keluarga korban, Qidam tidak ada sama sekali kaitannya dengan kelompok DPO Poso,” katanya.
Untuk itu menurutnya, baiknya proyek deradikalisasi dan anti terorisme di bumi Sintuwu Maroso dievaluasi serta dilakukan moratorium.
“Sebab kasus salah tembak ini bukan kali ini saja terjadi, dan hanya habis sidang kode etik,” ujarnya.
Sementara Ketua Gema Pembebasan (GP) Sulteng Yuslin mengatakan, hadirnya Satgas Tinombala bukan menyelesaikan masalah terorisme, tetapi menimbulkan teror baru bagi masyarakat. Sebab telah terjadi salah tembak aparat.
“Kita lalu disibukkan dengan mencari keadilan di tengah negara telah berdemokrasi, sehingga hal ini dimanfaatkan untuk mencegah kebangkitan Islam semakin nyata,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, perlu adanya gerakan-gerakan bersama, untuk memperoleh menuju keadilan hakiki.
Sementara Tim Pengacara Muslim (TPM) Andi Akbar Panguriseng memaparkan, setiap warga negara Indonesia mempunyai kedudukan sama dalam hukum, equality before the law sesuai termaktub dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
“Tidak ada yang kebal terhadap hukum baik pejabat sampai rakyat jelata. Dan garda terdepan dalam penegakan hukum salahsatunya Institusi kepolisian,” katanya.
Dia menyebutkan, jangan sampai hukum dipakai untuk melegitimasi kekuasaan penguasa.
“Dan paling banyak pelanggaran HAM dilakukan institusi kepolisian,” imbuhnya.
Dan operasi sejak diberlakukan dengan mulai sandi Operasi Camar Maleo sampai Operasi Tinombala justru tidak memberikan rasa aman bagi masyarakat Poso.
Ia menganggap, institusi kepolisian gagal memberikan rasa aman bagi masyarakat. Jadi untuk apa kucuran dana miliaran diberikan bila tidak bisa memberikan rasa aman.
“Jadi ada baiknya operasi Tinombala dilakukan evaluasi,” tanda Andi Akbar. (Ikram)