Sepanjang sejarah kejayaan pelabuhan Donggala, buruh merupakan kelompok yang cukup menonjol secara organisasi. Peran mereka sangat besar selain jumlahnya banyak, peralatan yang dimiliki pelabuhan masih konvensional. Memerlukan banyak tenaga bongkar-muat barang di kawasan pelabuhan.

Buruh memiliki peran sosial cukup penting dalam pembangunan Kota Donggala dengan sumbangsih perputaran perekonomian dari sektor pelabuhan yang berdampak pada dunia pendidikan, organisasi sosial, budaya, politik dan lainnya.

Buruh menjadi ujung tombak perputaran perekonomian dan diperhitungkan untuk mendukung kekuatan politik pemerintah yang sedang berkuasa di zaman pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru.

Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda di Donggala, terdapat organisasi buruh yang bergerak di bidang perusahaan pelayaran, yaitu Serikat Buruh Koninklijke Paketvaart Mij (S.B.K.P.M). Organisasi ini terakhir diketuai J.A Pupella, satu zaman dengan Serikat Buruh Borsumij. Borsumij merupakan perusahaan negara kelak dinasionalisasi pemerintah menjadi P.N. Budi Bhakti.

Pada zaman kejayaan pelabuhan, organisasi buruh yang cukup besar adalah SBII (Serikat Buruh Islam Indonesia). Dalam sejarah disebutkan SBII pertama kali didirikan di Surakarta, Jawa Tengah tahun 1947 dan menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.

Mulai masuk di Donggala 1950 dan diketuai Ladudin Bungkato (1916-1983) dengan pengurus Sjukrie Ma’ien (tokoh politik dan seniman) dan Ahmad Lapabetta (tokoh organisasi buruh).

SBII ketika itu menjadi onderbouw Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ketika pemerintah melarang partai itu, maka SBII bergabung dalam ASBIINDO (Gabungan Serikat Buruh Isalam Indonesia) onderbouw Parmusi (Partai Muslimin Indonesia).

Jelang Pemilu 1971, Parmusi mulai mendapat tekanan dari pemerintah yang berdampak pada keberadaan GASBIINDO. Selain SBII terdapat pula Serikat Buruh Islam (SBI) diketuai K. Hululo.

Dalam berorganisasi Ladudin dikenal singa podium, seroang orator hebat yang walaupun tidak memiliki pendidikan formal, ia menguasai berbagai persoalan sosial politik dan kemasyarakatan. Memiliki pandangan jauh ke depan untuk membangun Sulawesi Tengah dari bidang ekonomi dengan potensi yang dimiliki daerah.

Dalam sebuah memoar, Kiesman Abdullah menuturkan, Ladudin tak bisa baca dan tulis, kecuali membubuhkan tanda tangan bentuk perahu layar. Pada masanya, ia memiliki kemapanan ekonomi, di samping menjadi ketua buruh pada pemuatan kopra di Pelabuhan Donggala, ia juga pemilik perusahaan bongkar muat kapal laut bernama PT. Gunung Bale Veem memiliki sarana angkutan kapal laut, tug boat dan gudang kopra. Perusahaan ekspedisi mengalami kejayaan antara tahun 1960 sampai 1980.

Umumnya, tokoh buruh atau mandor berawal dari bawah yang bekerja keras sebagai pemikul barang di pelabuhan dengan mengandalkan tenaga fisik. Dengan kerja keras dan pengaruh yang kuat dalam kelompok dengan kemampuan penggalangan anggota, terbentuklah kekuatan atas kesepakatan menunjuk koordinator dalam mengatur pekerjaan dan mengurus upah buruh sebelum mendapat legitimasi mandor.

Buruh dan mandor tumbuh bersama dengan saling menopang memajukan perekonomian melalui pelabuhan.

Tokoh organisasi buruh yang aktif dalam politik yaitu Sjukrie Ma’ien. Ia pernah menjadi anggota DPRD-GR Provinsi Sulteng pada tahun 1969-1971 mewakili Parmusi bersama Andi Cella Nurdin.

Setelah Parmusi dilebur ke dalam PPP, Sjukrie Ma’ien kembali aktif dalam organisasi buruh dan usaha ekspedisi.

Kursi Parmusi untuk DPRD Kabupaten Donggala diisi Ibrahim Hasyim (1938-2003) pada tahun 1969-1971. Kemudian terpilih kembali pada Pemilu 1971, namun ia mengundurkan diri di tengah jalan.

Sedangan Sjukrie Ma’ien kelak bergabung pada Golongan Karya pada Pemilu 1982 dan kembali menjadi anggota DPRD Provinsi Daerah Tingkat Sulawesi Tengah periode 1982-1987.

Sjukrie lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan 30 Juni 1923 salah pemain sandiwara datang ke Donggala pada akhir dekade 1940-an.

Ketika itu suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan masih berlangsung karena pemerintah Belanda masih menancapkan kekuasaan di berbagai wilayah, termasuk di Donggala hingga tahun 1949.

Sjukrie Ma’ien membawa Sandiwara Nusantara yang kemudian hari bertemu dan menikah dengan Sofiah, salah satu pemain sandiwara asal Yogyakarta yang menetap di Donggala hingga akhir hayatnya.

Dalam kurun 1950-an-1960-an Sykurie melakukan pembinaan dan pertunjukan drama hingga tampil ke Sulawesi Utara.

Selain Nusantara, terdapat pula Sandiwara Srimutiara pimpinan M.I. Alham yang bubar di Kota Palu.