DONGGALA – Pernyataan Guru Besar Sejarah Universitas Tadulako (Untad) Palu, Prof. Dr. Juraid Abdul Latief, M.Hum terkait tidak perlunya mendirikan perguruan tinggi (PT) di Kabupaten Donggala, menuai sorotan.
Sejumlah pemerhati sejarah dan budaya serta masyarakat setempat menyatakan keberatan dengan pernyataan tersebut.
Direktur Yayasan Donggala Heritage, Zulkifly Pagessa (52), menyatakan, pernyataan guru besar itu menunjukkan bahwa superioritas Palu terhadap Donggala cukup menonjol.
Menurutnya, jarak 34 kilometer dari Donggala ke Palu memang tidak terlalu jauh untuk suatu perjalanan. Namun, kata dia, dalam jarak sependek itu membentang jurang kesenjangan yang cukup dalam.
Ia menilai bagaimana ketimpangan ekonomi, sosial, kultur dan pendidikan yang menganga di antara dua kota yang bertetangga itu.
Karena itu, kata arsitek ini, pernyataan tersebut seakan ia lupa bahwa di tahun 1917 HOS Tjokroaminoto telah berkunjung ke Donggala. Bahkan, pada Tahun 1933, Buya Hamka telah mendirikan Muhammadiyah di Donggala.
“Setelah pelabuhan yang menjadi jantung ekonomi kota dirampas, kini kesempatan bermimpi memiliki pendidikan tinggi pun tidak diberikan. Padahal pendidikan adalah salah satu solusi penting bagi problematika kemiskinan di Kabupaten Donggala,” kata Zulkifly, Jumat (09/04).
Hal senada juga mantan Kepala Wilayah Kerja (Wilker) Pelabuhan Donggala, Almubin Marwata (59). Menurutnya, pernyataan ini sama halnya melupakan sejarah. Justru, kata dia, Donggala-lah yang menjadi awal tumbuhnya pendidikan di daerah ini.
“Kenapa tidak bersikap arif untuk mengakomodir usulan tokoh-tokoh masyarakat atau orang yang memiliki keinginan perlunya universitas di Donggala. Saat inilah para pemangku kepentingan membuka diri saling berangkulan untuk memajukan sumber daya manusia. Sebab kalau SDM maju akan meningkatkan sector lainnya. Kapan SDM bisa maju kalau tidak ada perguruan tinggi,” tuturnya.
Terkait itu, mantan Kadis Kearsipan Kabupaten Donggala, Sadrudin T. Lagaga berharap agar Pemkab Donggala dan Pemkot Palu menentukan bidang pendidikan yang tidak sama di masing-masing daerah, sehingga berkolaborasi.
“Kalau suatu bidang studi tidak ada di Palu, pasti orang ke Donggala dan menetap di kota ini,” ujarnya.
Pernyataan Juraid yang dinilai kontroversi itu diungkapkan dalam forum terbuka Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), belum lama ini.
Juraid menilai, di Donggala hanya cocok didirikan pendidikan vokasi setingkat diploma yang siap diserap menjadi tenaga kerja semacam akademi kepariwisataan atau perikanan dan lainnya.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay