JAKARTA – Save the Children menyoroti kasus kekerasan seksual terhadap RDS (13) dilakukan oleh 13 orang dewasa di Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kasus pilu ini terjadi pada anak masih duduk di bangku SMP dan berisiko menyebabkan trauma berat pada anak, jika pemulihannya tak segera ditangani secara serius dan menyeluruh.

Sr. Media & Digital Officer Save the Children Alfiyya Dhiya Haq mengatakan,pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual harus dilakukan dari berbagai sisi, baik fisik, psikologis, maupun sosialnya.

Menurutnya , pastikan anak mendapat layanan kesehatan inklusif dan lakukan pemeriksaan secara berkala, untuk menghindari anak terpapar infeksi menular seksual (IMS). Adanya dampingan psikolog profesional untuk menghindari risiko trauma berkepanjangan atau gangguan psikologis lainnya.

Hal ini ujarnya, tidak bisa dilakukan sekali saja, namun harus berkelanjutan sampai anak benar-benar dapat dipastikan bisa berkegiatan sebagaimana mestinya. Di samping pemulihan terhadap anak menjadi penyintas, pemerintah juga harus memastikan support system anak sudah terlindungi dan teredukasi, misalnya, perlindungan terhadap orang tua dan orang tua bersedia dan mampu ikut mendampingi proses pemulihan anaknya, pendampingan hukum, serta dampingan psikologis.

“Lingkungan anak, seperti tetangga dan warga sekolah juga harus diedukasi agar tidak membuat anak mengalami dampak psikologis lanjutan, misalnya edukasi agar tidak menyinggung/menanyakan hal-hal berkaitan dengan kejadian traumatis, tidak melakukan diskriminasi, bersikap empati dan lebih waspada dan melaporkan jika terjadi sesuatu, dan lain sebagainya,”urainya.

Ia menjelaskan, upaya pengurangan risiko terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap anak juga penting untuk dilakukan, di antaranya, perlindungan anak di ranah daring (Dalam Jaringan / Online). Pengawasan orangtua / pengasuh utama terhadap penggunaan gadget dan akses anak pada internet menjadi penting.

Di sisi lain paparnya, pengasuhan yang positif juga harus diterapkan oleh orangtua misalnya menyediakan ruang komunikasi aman dan terbuka untuk anak. Buat anak merasa aman dan nyaman ketika bercerita atau melaporkan hal berpotensi membahayakan dirinya kepada orang tua, dengan begitu, pengawasan dapat dilakukan dengan mudah.

“Pemerintah perlu segera memfinalisasi dan mengimplementasikan Road Map Child Online Protection atau Peta Jalan Perlindungan Anak di dalam jaringan dan regulasi terkait, baik di tingkat nasional maupun daerah,”jelasnya.

Maraknya kasus kekerasan pada anak baginya, tak jarang juga disebabkan dari paparan konten negatif dari media sosial, termasuk mendapat grooming dari orang asing yang dapat membahayakan keselamatan anak.

“Orang tua/pengasuh utama wajib meningkatkan pemahamannya terkait literasi digital (akses informasi yang ramah anak),”sebutnya.

Banjir informasi di berbagai media membuat anak sulit menyaring informasi. Untuk itu kata dia, penting bagi orang tua “melek” terhadap akses dan informasi beredar di internet.

“Pembatasan akses untuk anak di bawah umur sangat diperlukan untuk meminimalisasi risiko terjadi kekerasan pada anak, atau mencegah anak terpapar konten-konten yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi. Pastikan bahwa informasi yang diakses oleh anak sesuai usianya dan ramah anak,”tuturnya.

Dia membeberkan, meningkatkan kesadaran masyarakat seputar perlindungan anak. Lapisan pelindung berikutnya adalah masyarakat. Perlindungan anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua orang, tanpa terkecuali. Namun, penyadaran terkait perlindungan anak masih perlu dikuatkan agar masyarakat peka bahwa setiap orang berkewajiban melindungi anak dari segala bentuk kekerasan.

Tidak menganggap sepele apabila mengetahui tempat atau perilaku yang mencurigakan, mendengar teriakan, melihat aksi kekerasan. Masyarakat harus bertindak secara cepat, misalnya melapor kepada pihak berwajib, mengintervensi langsung sesuai kemampuannya, meminta pertolongan pihak-pihak lain untuk sama-sama bergerak, dan lain sebagainya.

Selanjutnya kata dia,coping mechanism dan komunikasi positif yang Sehat. Anak-anak dapat distimulasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak berelasi dengan gawai dan internet. Misalnya, mengajak anak berolahraga, bermain permainan edukasi, dan lain sebagainya. Dengan begitu, anak-anak akan mencari kegiatan positif lain dan tidak bergantung dengan gawai dan internet.

“Validasi perasaan anak ketika mereka mengutarakan perasaan/emosinya, misalnya ketika anak sedang tertekan, sedih, dan lain sebagainya, maka orang tua harus memperhatikan wellbeing anak dengan menanyakan perasaannya, apa yang bisa dilakukan bersama-sama agar bisa terlepas dari belenggu emosi/perasaan tidak nyaman tersebut, dan lain sebagainya,”katanya.

Lebih lanjut kata dia, memastikan dunia usaha aman/ramah anak SDM, konten, sama tempat/lingkungan. Dunia bisnis, baik skala kecil maupun besar, wajib memperhatikan aspek kebijakan keselamatan anak. Seperti kasus pemerkosaan yang terjadi di Touna. Harus ada aturan baku/regulasi jelas untuk segala jenis usaha agar tidak menimbulkan risiko pada anak, baik dari sisi SDM (pekerja/pemilik usaha), tempat/lingkungan yang aman (misalnya, berada di tempat terbuka, tidak remang-remang, tidak ada tempat/kamar tersembunyi, memastikan ada pengawasan rutin orang dewasa, terutama jika tempat tersebut sering didatangi oleh anak-anak).

“Selanjutnya, pastikan konten atau jenis permainan untuk anak (game online, PS, dsb), terhindar dari konten kekerasan dan pornografi ada pembatasan waktu bermain,”mengakhiri.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG