JENEWA– Save the Children Indonesia berkolaborasi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam penyelenggaraan side event di Universal Periodic Review (UPR) ke-41 pada 8 November 2022 di Palais des Nation, Jenewa.
Side event ini bertujuan menyoroti tantangan dan praktik baik dalam isu partisipasi anak yang inklusif dan hak atas kesehatan anak dengan berbagi pengalaman dan pembelajaran dari masyarakat sipil di Indonesia dalam menyusun laporan UPR bersama Organisasi Non-Pemerintah (NGO) lainnya, khususnya yang mencakup situasi hak-hak anak di Indonesia.
“Selain berbagi praktik baik dan tantangan, side event ini juga bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelibatan masyarakat sipil pada tahapan proses pelaporan dan implementasi UPR, khususnya di Indonesia,” kata Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communications, and Media – Save the Children Indonesia, dalam keterangan tertulis diterima MAL Online, Kamis 10 November 2022.
Save the Children terlibat aktif dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan UPR 2022 dengan memasukkan peninjauan hak anak ke dalam UPR Indonesia, bersama dengan 46 NGO yang terlibat. Pada Maret 2022, Save the Children Indonesia dan koalisi NGO untuk Advokasi UPR berkoordinasi dengan Human Rights Working Group (HRWG) / kelompok kerja hak asasi manusia telah mengajukan laporan alternatif untuk UPR sesi ke-41, siklus 4, dengan menyoroti hak-hak anak dan evaluasi tahun 2021 tentang pemenuhan hak anak dari kelompok minoritas, dengan keterlibatan langsung anak-anak dari kelompok minoritas di dua wilayah di Indonesia.
Beberapa rekomendasi yang digaris bawahi adalah agar pemerintah Indonesia lebih fokus pada hak anak untuk didengarkan, hak anak atas kesehatan, dan kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan terutama bagi anak-anak dari kelompok minoritas.
Hak Anak untuk Didengar
Meskipun hak anak untuk menyampaikan pendapat telah diakui dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 yang telah diubah, tidak ada satu pasal pun yang menjamin pendapat anak diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa kerangka hukum dan kebijakan yang jelas, yang mengakui dan mengimplementasikan hak anak untuk didengar, memastikan ruang aman untuk bagi anak untuk menyalurkan pandangan mereka kepada pembuat keputusan, dan adanya mekanisme umpan balik, kebijakan tidak akan responsif terhadap kebutuhan anak atau bahkan dapat berdampak negatif pada kehidupan anak.
Indonesia harus mengambil upaya lebih jauh untuk memastikan ruang aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan pandangan mereka secara bebas dalam proses pengambilan keputusan, dengan diberikan bobot yang sesuai dengan usia dan kedewasaan anak. Selain itu, Indonesia harus mengintegrasikan sembilan persyaratan dasar dari CRC Committee General Comment 12, untuk didengar (Pasal 12 Konvensi Hak Anak) ke dalam semua tindakan legislatif dan lainnya.
Hak Anak atas Kesehatan
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah nyata untuk mempercepat upaya menuju cakupan imunisasi dasar lengkap yang menurun akibat COVID-19. Di samping itu, penting untuk memperkuat program penyadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi dasar lengkap.
Kebebasan Berpikir, Beragama, dan Berkeyakinan
Pada 2021, Save the Children bersama Yayasan TIFA melakukan kajian pemetaan pelanggaran HAM selama pandemi, khususnya terhadap kelompok minoritas dan rentan. Studi ini menemukan bahwa anak-anak dari agama minoritas masih trauma dengan relokasi paksa dan kekerasan yang terjadi setelah mereka diusir dari desa asal mereka pada 2006. Anak-anak dan masyarakat hidup dalam kondisi miskin di penampungan dengan infrastruktur terbatas untuk sanitasi dan promiskuitas, meningkatkan risiko kekerasan seksual terhadap anak. Mereka juga menghadapi kesulitan bersosialisasi dengan teman sebaya dan masyarakat karena stigmatisasi yang mereka terima. Beberapa juga menyembunyikan identitas sebagai agama minoritas untuk memastikan anak-anak mereka bisa bersekolah tanpa didiskriminasi.
Rekomendasi mendesak bagi Indonesia adalah memastikan perlindungan dan penyediaan ruang aman bagi anak-anak dari kelompok minoritas untuk dapat berpartisipasi dan mengekspresikan kekhawatiran serta harapan mereka. Melakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas penyelenggara dan aparatur pemerintah di desa dengan pendekatan afirmatif dalam kebijakan dan program desa bagi kelompok rentan dan terpinggirkan.
Selanjutnya, menyediakan saluran pengaduan dan pelaporan yang dapat diakses oleh masyarakat sampai ke tingkat paling bawah, termasuk memastikan informasi saluran pengaduan diketahui dan dipahami masyarakan, untuk memudahkan kelompok rentan dan marjinal untuk menyampaikan laporan pelanggaran HAM.
“Semua inisiatif bersama hari ini harus diperkuat dengan menutup kesenjangan dalam undang-undang dan praktik diskriminatif untuk lebih menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kita hanya dapat mencapai perdamaian dan pembangunan berkelanjutan untuk semua masyarakat ketika kita memajukan martabat dan kesetaraan semua manusia, termasuk anak-anak,” tegas Ajar Budi Kuncoro – Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI. (**/IKRAM)