PALU – Hampir dua dekade menempati rumah di kawasan Perumahan Jabal Talise Valangguni, Kota Palu, puluhan warga transmigrasi lokal Jabal Nur masih belum mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Akibatnya, mereka hidup dalam ketidakpastian hukum dan ekonomi, sementara pemerintah dinilai lamban menyelesaikan persoalan tersebut.
Program transmigrasi lokal yang dijalankan tahun 2004 di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu awalnya bertujuan memberdayakan tenaga kerja lokal melalui penyediaan rumah dan fasilitas usaha.
Sebanyak 64 keluarga menerima rumah sederhana berukuran 4×6 meter pada 2006. Namun hingga kini, status kepemilikan rumah dan lahan masih menggantung.
Salah seorang tokoh warga, Tahrir, mengatakan bahwa warga telah berulang kali meminta penjelasan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulawesi Tengah, namun tidak pernah mendapat kejelasan.
“Sudah 19 tahun kami menempati rumah ini tanpa sertifikat. Kami merasa diabaikan oleh pemerintah. Janji pemberdayaan berubah menjadi ketidakpastian,” ujarnya dengan nada kecewa, Rabu (5/10).
Tahrir menjelaskan, dalam perjanjian awal disebutkan bahwa rumah tersebut akan menjadi milik masyarakat penerima manfaat. Namun, tidak ada tindak lanjut konkret setelah penempatan warga dilakukan. Akibatnya, mereka tidak memiliki dasar hukum untuk mengakses bantuan perbankan atau menjaminkan aset mereka secara sah.
Ketidakpastian status hukum itu kini berdampak pada kondisi sosial warga. Beberapa rumah mengalami kerusakan tanpa perbaikan, dan sebagian penghuni terpaksa menanggung biaya perawatan sendiri karena tidak diakui sebagai pemilik sah.
Menanggapi hal ini, perwakilan Disnakertrans Sulteng, Sidik Purnomo, membenarkan bahwa program tersebut masih menyisakan persoalan administrasi.
Ia menyarankan agar Pemerintah Kota Palu segera melakukan clear and clean terhadap lahan seluas dua hektare tersebut agar proses penerbitan SHM dapat dilanjutkan.
“Secara prinsip, kami mendukung penyelesaian program ini. Tapi lahan harus dinyatakan bersih dan jelas dulu agar sertifikat bisa diterbitkan,” kata Sidik.
Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulteng, Eva Susanti Bande, menyebut aduan warga Jabal Nur sebagai bagian dari persoalan agraria yang sudah terlalu lama diabaikan.
“Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal hak hidup warga yang terabaikan selama 19 tahun,” ujarnya.
Eva memastikan Satgas akan memfasilitasi pertemuan multipihak antara Disnakertrans, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu, dan perwakilan warga. Pertemuan lanjutan dijadwalkan pekan depan untuk memverifikasi dokumen serta menyusun rekomendasi penyelesaian.
“Langkah ini diharapkan menjadi awal pemulihan hak keperdataan masyarakat transmigrasi,” tutup Eva.*

