Sri Kurnia hanya terkesima melihat ratusan jenis tanaman herbal tumbuh merekah di sebuah lahan pekarangan milik seorang kepala adat di Desa Pakuli. Lahan seluas lebih dari satu hektar itu terdapat sekitar 400 jenis tanaman yang dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai obat.
Masyarakat asli di Desa Pakuli, yang sebagian besar bersuku Kaili, masih mengandalkan pengobatan tradisional dari tanaman herbal ini untuk menyembuhkan penyakit.
Sebagai wilayah yang memiliki kawasan hutan yang bersinggungan dengan Taman Nasional Lore Lindu, Tanah Pakuli menjadi ekosistem asli bagi berbagai jenis tanaman herbal tumbuh berlimpah.
Adalah Sahlan, penggagas lahan tanaman herbal yang sebagian merupakan tanaman khas setempat. Ia yang dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif tradisional di Pakuli, pada tahun 1999 diberi hibah tanah oleh kepala desa untuk mengelola lahan lantaran kegemarannya mengumpulkan tanaman herbal sejak kecil.
Tanaman herbal di kebun Sahlan, beberapa berasal dari tanaman yang ia peroleh dari orang tuanya, lalu dibudidayakan. Sementara lainnya berasal dari hutan di Desa Pakuli.
Desa Pakuli yang secara administrasi di Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi memakan waktu sekitar satu jam perjalanan dari Ibu Provinsi Sulawesi Tengah.
Perihal toponimi sebuah daerah, penamaan Pakuli pun tak lain berasal dari peristiwa bagaimana peranan penting tanaman herbal ini begitu dekat keberadaannya di tengah masyarakat. Masyarakat suku Kaili mengartikan Pakuli berarti obat.
Kepada Sri, Sahlan menuturkan nama Pakuli tak lepas dari kisah seorang Goya Lemba alias Pue Ngilu. Sebelum menjadi Pakuli, tempat itu sebelumnya dikenal dengan nama Sada. Lalu saat Pue Ngilu berhasil mendapatkan obat dari sakit ngilunya dari tanaman yang berada di tanah Pakuli, Sada diganti menjadi Pakuli.
Bagi Sri yang sehari-harinya telah akrab dengan tanaman herbal ini, takjub melihat Pakuli tidak hanya sekedar apa yang tumbuh di sana tetapi menjadi lengkap dengan nilai historis di dalamnya.
“Sulteng gagal melakukan pendokumentasian pengetahuan herbal ini di masyarakat setempat,” kata Sri kepada penulis.
Ketiadaan pengetahuan tanaman herbal ini di masyarakat lantaran penduduk Sulteng memang dekat dengan budaya notutura yang kental.
Sebagaimana terciptanya Serat Centhini, –sebuah karya sastra Jawa Klasik yang berisi tentang pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan tradisional yang berkembang tahun 1800-an–, mengilhami Sri untuk membangun pencatatan pengetahuan tanaman herbal Pakuli ini melalui karya sastra. “Sastra Pakuli” begitu ia menyebutnya.
Mendokumentasikan Pengetahuan Herbal Lewat Sastra
Dalam pendokumentasian pengetahuan herbal Pakuli lewat sastra, Sri menggelar workshop kepenulisan pengetahuan herbal bertajuk “Sastra Pakuli”, yang telah digelar selama dua hari pada 6-7 Juli. Ia menggaet 15 peserta workshop dari kalangan anak muda.
“Sebagaimana sebuah karya sastra, kita tidak membatasi setiap peserta untuk menghasilkan jenis karya sastra seperti apa. Tulisannya bisa berwujud cerpen, puisi, prosa, atau apa saja yang berhubungan dengan keberagaman tanaman herbal di Pakuli,” kata Sri di sela-sela wawancara.
Upayanya ini mendapat dukungan pendanaan dari Balai Pelestarian Kebudayaan XVIII Wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat untuk melakukan pencatatan pengetahuan lokal seputar botani herbal di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.
Sri yang berlatar belakang seniman sastra ini, berharap workshop kepenulisan lewat sastra ini menghasilkan karya yang dapat melestarikan pengobatan tradisional warisan nenek moyang masyarakat Sulteng terdahulu.
Penulis : Mun