Tidak pernah terlintas dalam pikiran Ustadz Siddik, bisa diberi kepercayaan oleh sang guru, Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua) untuk mengemban tugas mulia melebarkan sayap Alkhairaat hingga ke Tanah Papua, tepatnya di Sorong Dom.
Kala itu, sekitar tahun 1968, usianya baru 17 tahun. Dia tercatat sebagai murid paling muda ketika itu.
Kepada MAL, Ketua MUI Kabupaten Touna itu menuturkan kisahnya sampai bisa menginjakkan kaki di Tanah Papua.
Tempo itu, sekitar tahun 1968, Ustadz Siddik baru beberapa bulan belajar bersama Guru Tua di Palu. Sebelumnya, dia belajar bersama Habib Abdurahman Aljufri, keponakan Guru Tua yang ada di Ampana.
Dirinya bersama Ustadz Wahab Abd. Muhaimin, lalu dibawa Guru Tua ke Palu untuk melanjutkan sekolah di Kelas IV Muallimin.
Saat sedang serius mengikuti pelajaran dari Ustadz Dahlan Tangkaderi dengan materi Fiqhi Babul Jinayah, tiba-tiba suara lantang Ustadz Dahlan Tangkaderi terhenti. Seisi kelas hening. Di depan pintu sudah berdiri Ustadz Sofyan Lahilote memberikan isyarat memanggil salah seorang murid di kelas itu.
Jantung Ustad Siddik muda berdegub kencang tatkala Ustadz Sofyan memanggil nama dan asalnya. Lama dia tertegun, jantungnya masih berdegup kencang, hingga tidak menyadari Sofyan Lahilote sudah berada di sampingnya. Kala itu, mereka berdua seumuran.
Siddik sendiri sangat mengidolakan sahabatnya yang memiliki suara indah itu. Bahkan, dia ingin selalu bersama sahabatnya menjadi “khaddam” Guru Tua agar memiliki kesempatan mendendangkan qasidah.
Keduanya pun menemui Guru Tua. Di sana sudah berkumpul para senior yang akan melakukan sebuah perjalanan dakwah bersama Guru Tua. Perjalanan dimulai dari Palu-Parigi-Pantai Timur-Gorontalo-Manado dan Ternate. Satu persatu muridnya diantar langsung Guru Tua di setiap desa yang membutuhkan.
Setiba di Gorontalo, Guru Tua memberikan isyarat kepada Siddik. Guru Tua sendiri dikenal sangat mengetahui isi hati murid-muridnya.
“Dalam hati, saya tidak ingin jadi guru, saya ingin seperti Sofyan,” katanya membatin ketika itu.
Sejak saat itu, dirinya pun tetap bersama Guru Tua hingga di Ternate. Saat semua guru sudah terdistribusi di masing-masing daerah yang dilalui dan kebutuhan guru di Ternate juga sudah terpenuhi, namun dirinya tak kunjung diberi tugas.
Ketika di Ternate, tepatnya Bulan Rumadhan, Siddik selalu bersama Ustadz Noor Sulaiman Pettalongi.
BERPISAH DENGAN SANG GURU
Setelah beberapa waktu di Ternate, tibalah saatnya Guru Tua menuju Manado. Di saat yang sama pula, kekhawatiran untuk berpisah dengan sang guru, akhirnya berlaku juga. Di atas kapal yang akan membawa Guru Tua ke Manado, Siddik selalu memegang erat koper dan kaki Guru Tua sambil berurai airmata tidak mau beranjak turun dari kapal.
Guru Tua lalu meminta Sofyan Lahilote agar membujuk Siddik supaya mau berpisah dengannya, namun upaya dari sahabatnya itu tetap gagal.
Melihat kondisi itu, Guru Tua langsung membuka kaos yang sedang dipakainya, lalu mengambil sarung dari dalam kopernya dan langsung menyerahkan kepada murid termudanya itu.
Sang Guru mengetahui apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran sang murid.
“Yaa Waladi (hai anakku), bukan orang tuanya yang kamu ajar, tapi anak-anak mereka,” kata sang Guru, sebagaimana yang dikutip Ustadz Siddik.
Motivasi sarat makna dari sang guru itu, tiba-tiba memicu semangatnya. Dia pun dengan langkah pasti mau diantar oleh sahabatnya Sofyan Lahilote turun dari geladak kapal.
MELEBARKAN SAYAP ALKHAIRAAT DI TANAH PAPUA
Ketika di Manado, salah seorang pengurus Alkhairaat Papua, Ustadz Muhsen Thaha, menemui Guru Tua untuk meminta tenaga Guru.
Guru Tua pun mempersilahkan Ustadz Muhsen untuk menghubungi Komda Alkhairaat Ternate karena disana masih ada satu guru yang belum ada tempat penugasan. Ustadz Siddik-lah yang dimaksud Guru Tua.
Dari sinilah ikhwal Ustadz Siddik, murid termuda ketika itu memulai kiprah dakwahnya di bumi Irian Jaya (Papua), tepatnya di Distrik Sorong Dom dan di Pulau Solnek.
Di Pulau Solnek, Ustadz Siddik berkenalan dengan Ustadz Ahmad Rifai Batubara dan Ustadz Zainuddin Lubis. Keduanya dari Jam’iyatul Wasliyah Sumatera. Di pulau ini mereka menjalankan misi pembinaan muallaf.
Konon, selama di Sorong Dom dan Pulau Solnek, kaos dan sarung pemberian Guru Tua tidak pernah dicucinya. Dua helai kain itu menjadi pelipur lara, tatkala sedang merindukan Sang Guru.
Wahai Guru, engkau memang selalu dirindukan, selalu hidup di hati murid-muridmu. Tak terkecuali kami yang belum pernah menyaksikanmu secara langsung.
Dan Alkhairaat adalah warisan terbesar yang engkau titipkan sebagai tempat mengabdi sekaligus untuk mengenang jasa-jasa dan melanjutkan misi dakwah yang engkau gagas sejak menginjakkan kaki di Bumi Tadulako ini. (IWANLAKI/RIFAY)