PALU — Pelaksanaan salat Jumat perdana di Masjid Baitul Khairaat Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat (28/11) siang, menjadi momentum bersejarah bagi masyarakat. Puluhan ribu jamaah dari berbagai wilayah memenuhi masjid baru yang berdiri megah di jantung Kota Palu. Suasana khidmat terasa sejak awal, hadirnya sejumlah tokoh daerah, termasuk mantan Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura.

Bertindak sebagai khatib, KH. Lukman S. Thahir menyampaikan rasa syukur atas beroperasinya masjid yang telah lama dinantikan masyarakat tersebut. Ia menilai pelaksanaan Jumat perdana di Masjid Baitul Khairaat bukan sekadar kegiatan rutin keagamaan, namun menjadi tanda kebesaran Allah dan tonggak baru perjalanan keberagamaan di Sulawesi Tengah.

Menurutnya, kehadiran masjid ini tidak lahir begitu saja, melainkan melalui proses panjang yang menunjukkan kesungguhan para pemimpin daerah dan masyarakat dalam menghadirkan rumah ibadah terbaik bagi umat. Ia mengapresiasi seluruh pihak yang terlibat dan menekankan bahwa masjid megah ini adalah bukti nyata komitmen kepemimpinan daerah dalam membangun fondasi spiritual masyarakat.

“Hari ini kita menyaksikan sebuah peristiwa luar biasa. Atas restu, bimbingan, dan petunjuk Allah, Masjid Baitul Khairaat akhirnya digunakan untuk salat Jumat perdana. Masjid ini adalah simbol bahwa negeri yang kita pijak ini dicintai oleh Allah SWT,” tutur Kiai Lukman dalam khutbahnya.

Ia menegaskan bahwa kecintaan Allah kepada suatu negeri tercermin dari bagaimana masyarakatnya memuliakan masjid. Maka kehadiran Masjid Baitul Khairaat, dengan arsitektur megah serta kubah terbesar di Indonesia, menjadi pertanda baik bagi masa depan kehidupan beragama di Sulawesi Tengah.

Selanjutnya, Kiai Lukman menekankan bahwa tugas masyarakat bukan hanya membangun masjid, tetapi memakmurkannya. Ia mengajak umat menjadikan Masjid Baitul Khairaat sebagai pusat salat berjamaah, pembinaan keagamaan, kecintaan kepada ilmu, serta aktivitas sosial dan kemasyarakatan.

Menurut Kiai Lukman, masjid tidak hanya menenangkan rohani, tetapi juga memberikan kedamaian pada sistem kerja otak manusia. Ia menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari seseorang berada dalam tekanan dan aktivitas tinggi, sehingga otaknya bekerja dalam gelombang beta yang menghasilkan ketegangan, stres, dan kelelahan.

“Saat kita mendengar azan, gelombang otak mulai turun, hati menjadi tenang, pikiran menjadi damai. Berhentinya aktivitas dunia ketika azan berkumandang bukan sekadar anjuran agama, tetapi juga bentuk terapi Ilahi yang langsung menyentuh jiwa manusia,” jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa setelah mendengar azan, wudhuh memberikan ketenangan kedua, dengan menurunkan intensitas pikiran, menata batin, serta membersihkan energi negatif dalam diri. Proses spiritual ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa masjid adalah ruang penyembuhan sosial sekaligus pengembalian kedamaian umat.

“Masjid Baitul Khairaat harus menjadi pusat penguatan moral, spiritual, dan sosial. Masyarakat untuk menjadikannya tempat yang hidup oleh ibadah, ilmu, dakwah, serta aktivitas kemanusiaan bukan sekadar bangunan indah yang hanya dipandang tanpa diisi,” imbuhnya.