PALU – Salah satu pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinilai tidak beretika.
Pada Pasal 235 Ayat 5 pada UU tersebut, disebutkan bahwa “Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya”.
“Dari sisi akademisi, pasal ini berbahaya. Dari sisi akademisi, pasal ini harus di JR (judicial review). Masa’ partai yang tidak mengusung bakal calon presiden, dilarang juga mengikuti pemilihan legislatif pada periode berikutnya,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Supriyadi, SH.,MH, saat menjadi narasumber kegiatan Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu (Ngetren) dengan Media yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di Palu, Rabu (06/09).
Kata dia, dari pasal tersebut terlihat bahwa jika ada partai politik yang tidak sejalan dengan visi misi calon presiden, maka yang bersangkutan terpaksa harus mendukung, jika tidak ingin mendapatkan sanksi.
“Bisa dipahami jika sanksinya hanya tidak bisa mendukung calon presiden saja. Tapi dalam pasal ini dikatakan tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya. Berarti pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, termasuk pemilihan calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” jelasnya.
Ia juga menyinggung contoh kasus pemekaran Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep). Ia menyebut ada kejahatan pasal yang terjadi.
“Dalam undang-undang pemekarannya disebut bahwa ibu kotanya itu ada di Banggai, namun kemudian dipindah ke Salakan. Pasal ini mengandung kejahatan karena berakibat banyaknya orang meninggal karena rebutan ibu kota,” katanya.
Makanya, kata dia, etika sangat penting diterapkan dalam merumuskan pasal-pasal dalam undang-undang.
Lebih lanjut ia menguraikan bagaimana pentingnya peran dan legalitas media dalam pemilu.
“Saya coba menelusuri pasal per pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Hampir dari awal sampai akhir, menyinggung tentang media,” katanya.
Ia pun mengungkapkan pasal-pasal yang menyinggung peran media dalam UU tersebut, seperti Pasal 23 ayat (3) huruf g, Pasal 28 ayat (3) huruf a, huruf g, Pasal 32 ayat (3) huruf a, serta huruf g dalam kaitannya dengan seleksi Penyelenggara Pemilu (KPU).
Selanjutnya, Pasal 94 ayat (3) huruf c yang mengatur tentang penindakan pelanggaran. Lalu Pasal 119 ayat (3) huruf a, huruf g, 123 ayat (3) huruf a, huruf g.
Kemudian Pasal 174 ayat (2) terkait penelitian administrasi pencalonan, Pasal 252 ayat (4), Pasal 257 ayat (2), dan Pasal 267 ayat (3) terkait DCS, DCT dan calon DPD.
Selain itu terdapat Pasal 275 ayat (1) huruf e, dan f, Pasal 277 ayat (2), Pasal 287, 289, 291, 292, 294, dan 295 berkaitan dengan kampanye, serta Pasal 402 terkait rekapitulasi.
“Sifat pasal-pasal berkaitan dengan pengaturan media adalah imperative atau memaksa kepada penyelenggara pemilu dan media,” kata Supriyadi.
Supriyadi juga menyampaikan beberapa hal yang mesti menjadi konsern media dalam ikut mengawasi jalannya pemilu. Hal ini didasarkan pada Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang telah dirilis oleh Bawaslu RI
“Potensi kecurangan yang wajib menjadi perhatian penyelenggara dan media, yang paling pertama itu adalah penyalahgunaan kekuasaan, pemilih palsu, penyebaran informasi palsu serta pencurian dan manipulasi surat suara,” tandasnya.
Kegiatan Ngetren dengan Media dibuka oleh anggota DKPP, Dr Ratna Dewi Pettalolo.
Pihaknya menilai, media di Sulteng cukup kooperatif dalam mengawal jalannya pemilu, sehingga dipilih menjadi salah satu daerah tempat kegiatan tersebut.
Menurut Ratna Dewi, media perlu memantau secara langsung proses pemilu, terutama dalam hal penyusunan daftar pemilih, untuk memastikan bahwa seluruh warga negara yang memenuhi syarat terdaftar dengan benar.
“Media juga diharapkan dapat berperan sebagai penghubung antara DKPP dan masyarakat, serta memberikan sosialisasi terkait upaya DKPP dalam menyelesaikan permasalahan etik dan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan,” kata mantan Anggota Bawaslu RI itu.
Selain Ratna Dewi dan Supriyadi, turut hadir sebagai narasumber Fery selaku utusan dari PWI Sulteng. (RIFAY)