Sahran Raden: Tiga Pilar Mewujudkan Islam Washatiyah di Era Post Truth

oleh -

PALU – Himpunan Mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, menggelar seminar perbandingan, di kampus UIN Datokarama, Sabtu (07/10).

Seminar yang menangkat tema “Peran Mahasiswa dalam Menghadapi Keanekaragaman aliran Islam yang Memicu Kontroversi di Era Post Truth” ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, Dr. Sahran Raden, Dekan Fakultas Syariah, Dr Ubay Harun, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Prof Dr Zainal Abidin.

Dr Sahran Raden menyampaikan materi mengenai Aliran Islam dalam Era Post-Truth: Antara Fakta dan Opini (Upaya Mahasiswa dalam Menegakan Moderasi Beragama)

Ia mengemukakan tiga pilar dalam upaya mewujudkan moderasi Beragama (Islam Washatiyah) di era post truth (pasca kebenaran).

Menurutnya, pilar pertama yang mesti ditegakkan, khususnya oleh kalangan mahasiswa, adalah keadilan.

BACA JUGA :  Peringatan Maulid Nabi, Warga Taipa Diajak Pererat Silaturahim

“Adil dalam arti sama, yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda,” jelas Sahran.

Pilar kedua, lanjut dia, adalah keseimbangan. Ia mengatakan, ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.

“Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya,” ujarnya.

Terakhir, kata dia, menegakkan pilar toleransi. Menurutnya, toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan.

BACA JUGA :  UIN Datokarama Latih Penerima KIP Kuliah Memanfaatkan Teknologi Digital

Lebih lanjut, Ketua PW ISNU Sulteng ini mengemukakan beberapa karakteristik moderasi beragama, antara lain idiologi non-kekerasan dalam  beragama terutama menyikapi politik ke-Indonesia-an, mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya, seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM dan semacamnya. 

“Kemudian penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran agama serta menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber ajaran agama,” urai mantan komisioner KPU Provinsi Sulteng ini.

Melengkapi uraiannya, Sahran juga menjelaskan perihal munculnya aliran keagamaan pascareformasi.

BACA JUGA :  Tiga Paslon Pilwakot Palu kembali Adu Gagasan di Debat Publik Kedua 7 November

Kata dia, reformasi bukan saja mengubah sistem dan tatanan dalam berpolitik, juga sangat mempengaruhi pola dan dinamika pemikiran umat Islam.

Era reformasi, menurutnya, memberi peluang kepada semua orang untuk mengekspresikan jati dirinya baik melalui ide, harapan, maupun keinginan-keinginan yang selama orde baru terkunci.

“Demikian pula kemunculan aliran-aliran keagamaan di Indonesia yang dipandang tidak sejalan dengan keyakinan pokok umat Islam yang mayoritas. Indonesia memiliki keragaman aliran Islam yang sangat beragam. Aliran Sunni merupakan aliran mayoritas, syiah, NU, Muhamadiyah dan Ahmadiyah,” ungkapnya.

Meskipun terdapat perbedaan pandangan di antara aliran-aliran tersebut, namun umat Islam di Indonesia tetap hidup dalam kerukunan dan saling menghargai,” katanya. (RIFAY)