PALU – Tidak lagi menjadi anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Dr Sahran Raden kembali ke kampus. Sepuluh tahun pengabdiannya di lembaga negara itu menjadikan dirinya semakinn matang. Dia tampil sebagai narasumber sebagai akademisi  untuk pertama kalinya paska purna bakti  beberapa hari lalu.

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr Sahran Raden menyarankan  penyelenggara pemilu bisa memanfaatkan basis pemilih keagamaan sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Hal itu dikemukakan Dr Sahran saat menjadi salah satu narasumber dialog publik, Politik dalam Kehidupan Masyarakat yang Beragama yang digagas oleh Jaringan Pemilu dan Demokrasi (Jaripede), Sulteng, di salah satu  Hotel, jalan Domba, Talise, Palu, Sabtu (27/5).

Menurutnya, selama ini, sosialisasi lebih diorientasikan kepada tokoh-tokoh agama saja,  akibatnya jamaah berbagai agama di Indonesia,  yang jumlahnya sangat besar tak sebanding dengan jumlah tokohnya,.

Sosialisasi dan pendidikan pemilih, hematnya,  tidak tersentuh dan tidak  mengakar kuat, informasi pemilu dan demokrasi hanya beredar di tataran elit keagamaan saja.

Ketua KPU Sulteng periode 2013-2018 itu  berpandangan, sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada basis keagamaan ke depan harus diubah dari gerakan yang elitis menjadi gerakan popular. Distribusi dan konsumsi informasi kepemiluan dan demokrasi harus masuk ke dalam ruang kehidupan para jamaah.

Penyelenggara pemilu, kata Sahran, harus dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan kelompok keagamaan agar dapat menggunakan forum-forum keagamaan seperti pengajian sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Namun mantan anggota KPU Sulteng periode 2018-2023  itu tidak menafikan peran para tokoh agama. Dia menilai, peran mereka sangat penting dalam penyampaian pesan kepemiluan, karena mereka mendapat tempat yang tinggi dalam struktur sosial di masyarakat Indonesia.

Selain itu, peranan tokoh agama dalam pendidikan politik dan partisipasi politik sangat strategis, karena agama diyakini memberikan pondasi nilai perilaku masyarakat.

Disisi lain, dengan mengekplorasi isu isu pemilu dan demokrasi yang berpresfektif agama, dinilai bisa membantu kualitas pemahaman umat beragama terhadap pemilu.  Nilai nilai demokrasi selalu paralel dan sejalan dengan nilai nilai keagamaan di masyarakat yang dipandang oleh umat bergama.

Menurut Sahran, agama dan demokrasi mempunyai kesesuaian. Agama secara teologis maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisasi politik.
Keberadaan agama dapat menjadi roh sekaligus inspirasi bagi demokrasi. Banyak ajaran agama yang sangat relevan dengan ajaran demokrasi.

“Kehadiran agama senantiasa membawa imbas pada perombakan struktur masyarakat yang dicekam oleh kekuasaan yang zalim dan otoriter menuju terwujudnya  struktur dan tatanan masyarakat yang demokratis,”katanya.

Dr Sahran yang baru beberapa hari mengakhiri pengabdian selama 10 tahun di KPU itu juga menyoal problem politik dalam Pemilu dan Pemilihan. Yakni, adanya politik identitas yang jadi problem sangat besar di  pemilu kita. Agama dieksploitasi untuk mobilisasi politik.

Selain itu, agama masih dijadikan sebagai formalisme politik dalam pemilu dan demokrasi. Penggunaan simbol-simbol agama dalam kegiatan politik beberapa tahun terakhir terjadi lantaran praktik politik di Indonesia tak lagi mengedepankan nalar atau adu gagasan. Dunia politik lokal dianggap telah dibawa oleh segelintir elite kearah pertarungan rasa.

Dia tidak menampik jika masih terjadi isu-isu politik electoral pada pemilu 2024, semisal, tingginya politik identitas yang mengatasnamakan agama, suku dan ras,
adanya politik uang, netralitas ASN dalam pemilu dan pemilihan serta adanya sikap skeptis masyarakat bahwa pemilu dan pilkada tidak kontributif bagi pembangunan daerah.

Ketua PW ISNU Sulteng itu mengajak publik untuk  mewaspadai potensi melemahnya nilai toleransi dan kebhinekaan  selama proses politik elektoral menuju pemilu 2024. Perilaku intoleran kata Sahran, kerap terjadi di tahun politik yang memberikan efek domino yang tidak hanya berdampak pada pelaksanaan pemilu yang dipenuhi kebencian dan permusuhan, melainkan juga melanggengkan permusuhan dan segregasi di masyarakat.

Selain itu, isu toleransi dan kebhinekaan berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Hal itu kata Sahran disebabkan rendahnya kesadaran segenap elit politik bangsa dan juga masyarakat akan pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan (toleransi).

“Munculnya  pelabelan istilah tertentu, misalnya munculnya istilah cebong, kadrun ataupun kampret kepada pendukung pasangan politik,”pungkasnya.

Reporter : Iwan Laki
Editor : Yamin