PALU – Pengajar Hukum Tata Negara, Hukum Parpol dan Sistem Pemilu pada Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, menjadi narasumber rapat koordinasi pemungutan dan penghitungan suara dalam Pilkada Serentak, di Palu, Jumat (15/11).
Kegiatan yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini dihadiri para peserta dari KPU kabupaten/kota, yakni Divisi Teknis KPU kabupaten/kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) se-Sulteng, serta Kasubag Teknis KPU kabupaten/kota se-Sulteng.
Pada kesempatan itu, Sahran yang pernah menjadi ketua dan anggota KPU Provinsi Sulteng periode 2013-2023 ini, menyampaikan sejumlah hal yang bisa menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.
Sejumlah evaluasi yang dimaksud, mulai dari permasalahan daftar pemilih, kampanye pasangan calon, hingga evaluasi saat pemungutan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara).
“Beberapa hal yang perlu menjadi evaluasi terkait daftar pemilih, yaitu adanya pemilih yang berpotensi kehilangan hak pilihnya apabila tidak mempunyai KTP Elektronik atau surat keterangan dari Disdukcapil setempat,” ungkap Sahran.
Ketua LPPM UIN Datakorama Palu masa jabatan 2023-2027 ini menambahkan, masalah selanjutnya adalah kelengkapan dan validitas daftar pemilih, penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak tercantum dalam DPT, penduduk tidak memenuhi syarat sebagai pemilih namun tercantum dalam DPT.
“Ada juga pemilih terdaftar lebih dari satu kali, serta penduduk yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak terdaftar dalam DPT dan tidak mempunyai KTP Elektronik atau surat keterangan dari Disdukcapil setempat,” ungkapnya.
Permasalahan selanjutnya adalah pemilih yang terdaftar namun tidak mendapat pemberitahuan memilih (Formulir Model C6), dan ketidaklengkapan data administrasi KPPS dan PPS terkait pemilih yang tidak menerima Formulir Model C6.
Sahran juga menyampaikan beberapa hal yang perlu dievaluasi pada masa kampanye pasangan calon, antara lain terkait adanya penayangan iklan kampanye di media cetak dan elektronik, selain yang difasilitasi oleh KPU, kampanye di media sosial yang akunnya tidak didaftarkan di KPU, adanya pemberitaan dan penyiaran kampanye yang tidak berimbang, serta potensi terjadinya politik uang.
“Untuk tahap pemungutan suara di TPS, beberapa hal ini perlu menjadi perhatian, seperti pembuatan TPS yang tidak aksesibel, adanya penyalahgunaan C6 (surat pemberitahuan kepada pemilih), kemudian perbedaan antara jumlah pemilih yang dicatatkan pada formulir C-7 (daftar hadir) dengan jumlah surat suara yang digunakan,” ujarnya.
Hal lain yang perlu diantisipasi adalah kesalahan pencatatan pada fomulir pemungutan dan penghitungan suara (Model C, C-1, dan lampiran model C-1), serta identitas kependudukan yang berbasis surat keterangan yang dikeluarkan oleh Dukcapil, dan pemetaan TPS rawan bencana.
Secara umum, lanjut Sahran, berdasarkan Pemilu 2019 dan Pilkada serentak Tahun 2017, 2018 dan 2020, serta Pemilu 2024, maka ada sejumlah permasalahan yang perlu dievaluasi, yaitu keterlambatan logistik, tertukarnya surat suara antar daerah pemilihan, pemilih pindah tidak menggunakan A5, pemilih mencoblos lebih dari satu kali, dan pemilih TMS memilih di TPS.
Selanjutnya, kata dia, adanya perubahan BA hasil penghitungan suara di TPS, kesalahan pencatatan perolehan suara pada plano di TPS, kesalahan menentukan suara sah dan tidak sah, adanya KPPS yang tidak memberikan surat pemberitahuan kepada pemilih.
“Pemungutan suara terlambat dimulai, ada KPPS mencoblos sisa surat suara, PPK terlibat dalam kampanye, PPS tidak mengumumkan DPS, dan ada KPPS yang memberikan surat suara lebih kepada pemilih,” urainya.
Kata dia, tujuan evaluasi pelaksanaan pemilu ataupun pemilihan ini adalah untuk menilai efetivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu/pemilihan, menilai sistem dan kinerja penyelenggara adhoc, serta untuk menilai tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dan pemilihan.
Terkait partisipasi pemilih, Sahran juga menyampaikan realisasi partisipasi pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2020. Saat itu, kata dia, dari target 77,5%, yang terealisasi hanya sebesar 74,53%.
Di penghujung materinya, ia menyampaikan bahwa Pemilu atau Pemilihan sebagai arena pertarungan politik membutuhkan posisi penyelenggara pemilu yang independen, berintegritas dan profesional.
Di tahap ini, kata dia, para penyelenggara, khususnya badan adhoc diperhadapkan pada sejumlah tantangan, antara lain gratifikasi, pergeseran surat suara, dugaan main curang, serta manipulasi hasil pemilu dan pemilihan.
“Dalam konteks hasil pemilu atau pemilihan, maka badan adhoc itu ibarat sumber mata air. Bila hasil perolehan suara jernih atau bersih, maka aliran sungainya juga akan bersih hingga ke muaranya di KPU RI,” tutupnya. (RIFAY)