PADA Festival Lestari di Taman Taiganja di Desa Kalukubula, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, di salah satu stan seorang lelaki dengan terampil menyusun manik-manik yang dimasukan dalam tali rami. Coraknya sangat khas, lalu manik-manik yang disusun tadi masing-masing ujungnya dipertemukan, jadilah ikat kepala. Nama dari keterampilan itu adalah tali enu, ikat kepala khas budaya wanita Kulawi.
Adalah Safrudin, seorang pria baya warga Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, pengrajin tali enu. Di masa modern, dimana banyak tradisi dan kerajinan khas daerah yang hampir punah, termakan oleh perkembangan teknologi, Safrudin merasa terpanggil untuk mempertahankan ciri khas adat daerahnya dengan menjadi seorang pengrajin tali enu.
Meskipun ia juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai petani, Safrudin tetap meluangkan waktu untuk menciptakan kerajinan tali enu di desanya.
Safrudin menyadari bahwa jika tidak ada usaha untuk melestarikan kerajinan ciri khas wanita Kulawi ini, maka bagian pakaian adat ini akan punah. Ia sempat merasa khawatir karena tidak ada lagi generasi muda yang tertarik untuk menekuni kerajinan tali enu ini.
Olehnya dia belajar dari orang tua tentang teknik-teknik kuno dalam pembuatan tali enu. Setiap harinya, di tengah kesibukan berkebunnya, Safrudin meluangkan waktu untuk duduk di depan meja kerjanya dan merajut tali enu dengan hati-hati.
Walaupun terkadang Safrudin merasa lelah, ia tidak pernah menyerah. Ia memiliki keyakinan yang kuat bahwa tali enu adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Ia ingin memastikan bahwa tradisi ini tidak dilupakan oleh generasi mendatang. Akhirnya, kabar tentang usaha Safrudin menyebar ke seluruh desa Mataue. “Warga desa mulai menyadari pentingnya melestarikan kerajinan tali enu dan tradisi adat mereka,” akunya kepada Media Alkhairaat, Sabtu (24/6).
Menurutnya, beberapa perempuan muda tertarik untuk belajar dan mengikuti jejak Safrudin. Mereka bergabung dengannya dan belajar dengan tekun, meneruskan tradisi tersebut.
Berkat upaya Safrudin dan semangat juangnya, kerajinan tali enu mulai punya harapan. Setiap produk yang mereka hasilkan diterima dengan antusias oleh masyarakat setempat. Ikat kepala dan tali enu kembali menjadi pilihan yang populer di antara perempuan-perempuan Kulawi. Bahkan, permintaan dari luar desa pun mulai mengalir.
“Di hari pertama festival lestari dari sembilan buah tali enu yang saya bawa dari Kulawi, sudah enam buah yang laku. Untuk satu tali enu di jual dengan harga 150 ribu,” ujar Safrudin .
Ketika orang-orang melihat keindahan dan keunikan tali enu yang dibuat oleh Safrudin, minat terhadap kerajinan itu mulai banyak orderan dari lokal maupun luar daerah.
Saat ini pengrajin tali enu bukan hanya dirinya, tetapi sudah banyak perempuan di daerahnya menekuni kerajinan tali enu itu.
“Kalau di desa kami di Mataue khususnya di hari Kamis atau hari budaya perempuan dan laki-laki diwajibkan memakai pengikat kepala seperti tali enu dan siga. Jika melakukan pengurusan di kantor desa dan kantor camat, jika tidak memakai tali ikat kepala orang tersebut tidak dilayani apapun alasannya,” ujar Safrudin.
Aturan tersebut sudah menjadi ketentuan yang disepakati oleh pemerintah setempat dan tokoh adat di Kecamatan Kulawi.
Dengan adanya aturan tersebut terhadap pemakaian tali enu, kerajinan yang terbuat manik-manik itu dipastikan akan terus berkembang hingga ke generasi muda mendatang.
Reporter: Irma
Editor: Nanang