RUU Minerba Diharap Akomodir Mitigasi Kebencanaan

oleh -
Jalannya dialog publik yang digelar KOMIU dan PWYP Indonesia di salah satu cafe di Kota Palu, Rabu (08/01). (FOTO: MAL/RIFAY)

PALU – Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) bekerja sama dengan Publish Watch You Pay (PWYP) Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “RUU Minerba dan Masa Depan Tata Kelola Sektor Pertambangan di Indonesia” di salah satu cafe di Kota Palu, Rabu (08/01).

Turut hadir sebagai pembicara Koordinator Nasional Publish Watch You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, Kepala Dinas (Kadis) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulteng, Yanmart Nainggolan dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Dr Muh Tavip.

Ufudin, perwakilan dari KOMIU, mengatakan, kegiatan tersebut sebagai bentuk partisipasi publik dalam mengawal proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang telah diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 sebagai perubahan atas Undang-Undang  (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Sejumlah perubahan substantif nampak dalam RUU yang disusun pemerintah. Setidaknya 12 poin penting yang mengalami perubahan, di antaranya penyelesaian masalah antar sektor, penguatan konsep wilayah pertambangan, meningkatkan pemanfaatan batu bara sebagai sebagai sumber energi nasional dan perubahan kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batu bara menjadi izin usaha pertambangan khusus dalam rangka kelanjutan operasi.

“Namun sejumlah kalangan menilai poin-poin perubahan tersebut masih bermasalah dan belum mencerminkan kedaulatan negara serta dianggap bertentangan dengan semangat pengembangan pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, mengatakan, hal penting yang mesti diakomodir dalam UU minerba adalah penyesuaian izin penggunaan tata ruang dan beberapa aspek lain terkait dengan mitigasi dan penanggulangan resiko bencana.

“Penerimaan negara juga penting. Namun yang paling penting adalah praktik kegiatan tehnis pertambangan yang bisa menjaga dari sisi aspek lingkungan hidup dan sosial karena hampir semua operasi pertambangan di Indonesia mengalami masalah, termasuk di Sulteng yaitu di Morowali dan banyak penggunaan bahan merkuri. Penyebabnya karena penegakkan hukum yang lemah serta sanksi yang tidak dijalankan dengan baik,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, perizinan yang ditengarai tidak baik, AMDAL dan KLHS yang tidak dilaksanakan serta aspek lainnya juga harus dijawab dalam revisi UU ini.

Lebih lanjut dia mengatakan, praktik pertambangan juga mencipatkan renten, sehingga banyak terjadi korupsi.

“Penting revisi UU ini untuk mengurangi risiko-risiko ini. Tidak boleh lagi orang cepat sekali mendapatkan izin tanpa memerhatikan risiko bencana dan kerugian orang banyak,” ucapnya.

Sementara Kadis ESDM Provinsi Sulteng, Yanmart Nainggolan, mengatakan, jika ditanya mengenai harapan dari RUU tersebut, tentunya kata dia, harusnya lebih baik secara subtansi. Menurutnya, ada hal-hal yang menjadi kendala pada saat pelaksanaa UU Nomor 4 Tahun 2009 yang diharapkan bisa diperbaikan dalam RUU ini, walaupun belum semuanya.

“Intinya sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaannya, tapi yang kita harapkan nanti ada perubahan kewenangan karena non logam dan batuan itu dalam RUU ini diatur di kabupaten/ kota. Ini yang sering menjadi masalah pertambangan non logam dan batuan, dimana lengan pemerintah provinsi jauh menjangkau lokasi. Kewenangan perizinan dan pengawasan itu ada di pemerintah provinsi namun seluruh perizinan yang dibebankan di kabupaten,” katanya.

Salah satu perwakilan Inspektur Pengawasan Tambang, mengatakan, dalam UU Nomor 4, memang fungsi penagwasan masih dipegang oleh pemerintah pusat, namun secara nasional melekat di daerah.

“Tapi masalahnya ruang gerak pengawasan itu masih kurang karena keterbatasan anggaran. Tapi kami baca RUU Minerba, di situ sudah masuk anggaran operasional dianggarkan oleh pusat dan kalau seperti itu lebih maksimal karena pengawasan itu kalau satu kali dua kali, tidak akan maksimal. Harus konprehensif. Kami berharap adanya pengesahan UU ini bisa juga mengakomodir kepentingan pengawasan,” jelasnya.

Di kesempatan itu, Akademisi Fakultas Hukum Untad, Dr Muh Tavip, menilai, yang menjadi masalah dalam setiap penyusunan RUU adalah kultur. Khusus sumber daya alam, kata dia, kultur yang sudah tertanam adalah mindset pemerintah yang selalu merasa menjadi pemilik.

“Tapi dari segi substansi, RUU ini terbilang sudah mulai baik, karena kata pemilik sudah diubah menjadi hak menguasai. Draft RUU ini, dari segi subtansi saya memberikan jempol, dari segi struktur juga saya setuju. Yang jadi soal di saya juga itu masalah soal kultur, sebaik apapun struktur dan subtansi tapi jika kulturnya tidak baik maka tidak akan seimbang,” katanya.

Di dialog juga diberi kesempatan kepada aktivis sosial sekaligus akademisi, Arianto Sangaji untuk menyampaikan pendapatnya.

Menurutnya, problem lingkungan hidup dalam sektor pertambangan tidak akan pernah selesai dibahas. Sektor ini padat modal dan padat teknologi.

“Distribusi provit dari sektor pertambangan, perusahaan/korporasi selalu mendapatkan keuntungan namun yang menjadi persoalan yaitu negara jarang mendapatkan royalti. Yang saya pikirkan sekarang yaitu bagaimana negara saat ini bisa mendapatkan royalti jauh lebih banyak,” tutupnya. (RIFAY)