Laporan: Ikerniaty Sandili

USAI penerimaan telur di keraton, Ahad (04/12) Basalo Kokini, Masykur Abdullah duduk bersila di ruang utama Keraton Banggai. Beberapa orang juga masih duduk berkelompok sembari bercerita pelan. Di depan mereka, piring, bosara, dan gelas-gelas kaca masih berderet dan berbaris sedikit berantakan. Masykur Abdullah akrab disapa Om Kul, dia menghisap rokoknya. Saya mendekat ke arahnya, ikut duduk bersila.

“Saya protes lagu Malabot Tumbe itu. Nggalau manuk mamua, na binaba lue Bosanyo sampu doi papalan Tolo…. (Telur burung maleo dibawa oleh Bosanyo singgah di Tolo). Seharusnya rombongan dari Batui itu singgah di Pinalong dulu, untuk melempar kayu, baru ke Tolo,” katanya sambil memindahkan rokok dari tangan kanan ke tangan kirinya agar asap rokoknya tidak mengarah kepada saya.

Lagu Malabot Tumbe yang diciptakan Ronal Nadjil dan Adi Diasamo memang tidak menyebut ‘Pinalong’ sebagai bagian dari prosesi pengantaran-penjemputan Tumbe. Dalam syair lagu tersebut hanya disebutkan Tolo sebagai bagian dari rute pengantaranTumbe.

Masykur Abdullah (Foto: Iker)

Tradisi pengantaran dan penerimaan telur menurut Lembaga Masyarakat Adat Banggai Batomundoan (LMABB), yang diwakili Hukum Tua, Djamil Hamid, mengatakan tahapan diawali oleh Bosanyo Batui, dan perangkat adat mengorganisir masyarakat adat di Batui melalui Dokanyo atau pemimpin adat yang tingkatannya di bawah Bosanyo. Dokanyo mengumpulkan telur burung maleo dari para penduduk di Batui, dan memanjatkan doa kepada Tumpu Ala Ta Ala (Tuhan Alam Semesta) serta restu leluhur di beberapa kusali (kerajaan kecil di Batui).

Setelah telur-telur terkumpul dan didoakan di rumah Dakanyo, telur diantar ke rumah Bosanyo dan dibungkus dengan daun kombuno (palem). Perjalanan ke Banggai memakai perahu yang berawak 7 orang sebagai pengantar, terdiri dari tiga orang Perangkat Adat dan empat orang sebagai pendayung dan juru mudi. Sekarang pengantar telur diiringi banyak orang, sehingga kapal terlihat ramai. Seperti tahun 2022 ini, rombongan dari Batui membawa beberapa orang yang mengenakan semi baju kurung berwarna ungu yang ikut memagari perjalanan pengantar telur sejak turun dari kapal ketika sudah tiba di Banggai.

Dari Batui, rombongan berangkat Jum’at (02/12) malam dan tiba di Desa Pinalong Kabupaten Banggai Kepulauan pukul 10.00 WITA untuk melontar. Desa Pinalong adalah rute pertama yang harus dilalui rombongan pengantar telur. Hal itu dilakukan karena menurut masyarakat adat Batui, saat Abu Kasim menyeberang menuju daratan Batui, ia sempat diganggu makhluk jahat.

Rute kedua, rombongan singgah di Tolo, Sabtu (03/12) sekitar pukul 11.30 WITA. Penduduk Desa Mansalean sudah menunggu di Tolo menyambut rombongan pengantar telur. Tidak ada sambutam seperti tarian atau lagu, karena memang tradisi ini dilakukan dengan hikmat dan sunyi. Dahulu, jika ingin mengadakan acara-acara untuk memeriahkan, masyarakat Mansalean menggelar seni pertunjukkan setelah tradisi di Tolo selesai atau sebelum itu.

Tolo, Desa Mansalean (Foto: Iker)

Di Tolo, aroma cat terhidu ketika berjalan di jembatan dan rumah panggung tempat singgah untuk mengganti kulit pembungkus telur. Kalau dari laut, rumah panggung itu ada di sisi kanan jembatan dan toilet di sisi kiri. Di sisi kiri pula setelah bukit, tanjung merah dan batu palalan beradai—kisah Abu Kasim dalam perjalanannya menemui bapaknya.

Setelah mengganti pembungkus telur, daun palam yang kering itu dihanyutkan. Dahulu dipercaya tahapan ini memiliki kekuatan mistis. Daun palam itu akan tiba di Banggai Lalongo (keramat) dan menjadi penanda bahwa rombongan sudah di Tolo dan akan bertolak menuju Banggai esok pagi. Secara logis, arus dari Tolo ke Banggai memang deras, sehingga menghanyutkan daun itu dengan cepat.

Saat ini—Malabot Tumbe 2022—rombongan juga tidak lagi bermalam di Tolo sejak kira-kira 10 tahun terakhir. Setelah mengganti daun palam, rombongan langsung menuju Banggai dan bermalam di Kota Tua atau Kampung Jin di Tinakin. Tetapi sebelumnya mengitari Banggai Lalongo lebih dulu . Pada 4 Desember 2022, rombongan bermalam di Tinakin, mereka tiba hari Sabtu (03/12) sore, dan mengitari Banggai Lalongo esok paginya, Ahad (04/12).

Sutrisno, pemerhati adat di Desa Mansalean mengatakan bahwa pilihan bermalam di Tinakin dikarenakan pada pagi hari, angin barat bertiup menyebabkan arus kencang di Banggai.

Di Keraton Banggai, para pemangku adat sudah bersiap. Bupati dan Wakil Bupati Balut serta para tamu dari luar Banggai juga sudah bersiap di tenda depan pos jaga pelabuhan, dekat bak-bak kontainer. Pemandu acara memastikan lipstik dan bedaknya sempurna sebelum memandu acara. Polisi Pamong Praja yang bertugas di pelabuhan mengadakan operasi semut dari sampah. Kursi-kursi untuk para tamu dan kepala-kepala OPD sudah disiapkan untuk ikut menyambut rombongan dari Batui dari bibir pelabuhan.

Setelah berkeliling mengitari Banggai Lalongo, kapal yang membawa rombongan Mombawa Tumpe menepi diikuti puluhan kapal nelayan dan beberapa kapal penangkap ikan. Masyarakat yang turut menjemput di pelabuhan sebagian berbaris, sebagian lagi sibuk mengabadikan gambar dan menerobos kerumunan, yang membuat para awak media kesulitan mengambil gambar. Sebelum telur-telur itu diturunkan dari kapal, satu orang pemangku adat dari Batui melapor ke keraton, dan kembali dengan pemangku adat dari Banggai bersama para pengawalnya.

Ahmad Abuhadjim berdiri di samping Jasrun Dani, kakek yang fotonya menghiasi publikasi Festival Tumbe. Jasrun berdiri paling depan barisan yang memegang telur. Beriringan mereka berjalan dengan didampingi pengawal keraton dan petugas keamanan. Tanpa alas kaki, rombongan Mombawa Tumpe (bahasa Saluan) mengantar telur ke keraton. Bupati dan rombongannya termasuk tamu dari provinsi dan kabupaten lain berjalan di barisan paling depan. Langkah tidak boleh terhenti ketika menempuh jarak dari pelabuhan ke Keraton, sekitar 750 meter.

Pemangku adat dari Batui datang bersama pemangku adat Banggai setelah melapor ke keraton (Foto: Iker)

Begitu tiba di Keraton, orang-orang sudah menunggu baik di dalam keraton, teras keraton hingga di luar, dibawah tenda. Beberapa anak-anak menonton dari samping keraton. Rombongan berhenti sebentar, Ahmad Abuhadjim jalan berjinjit—pantat hampir menyentuh lantai—melaporkan dalam bahasa Banggai kepada pemangku adat di dalam keraton, bahwa rombongan telah tiba. Setelah dipersilahkan masuk, barulah para pembawa telur itu masuk, menyerahkan langsung ke Hukum Tua (seharusnya Jogugu yang menerima) dengan berjalan berjinjit pula.

Jasrun Dani (depan) bersiap membawa telur ke keraton (Foto: DOK. HUMAS PEMDA BALUT)

Begitu rombongan dari Batui kembali ke Batui, dan telur telah bermalam sebanyak 3 malam di Banggai (dua malam di keraton, satu malam di Tinakin), pemilik telur dapat mengambil telur di keraton, dan masyarakat Batui dapat memakan telur itu.

“Pernah ada yang coba-coba, mereka ingin membuktikan, benar tidak, telur itu harus tiba di Banggai dulu. Mereka memakan telur, dan kontan (automatis) semuanya sakit perut,” kata Ahmad Abuhadjim disusul tawanya yang menggoyangkan jenggotnya yang sudah putih.

Djamil Hamid menuturkan bahwa telur yang berjumlah 85 butir itu milik keramat Boneaka. Kamali Boneaka akan ambil lalu dibagikan kepada Kamali Putal dan Kamali Banggai Lalongo. Sisanya dibagikan kepada keturunan raja dan mungkin juga pemerintah, seperti Bupati, Wakil Bupati, Sekda dan lainnya.

Membenarkan perkataan Djamil, Sapitu, Pakanggi (penjaga keramat turun temurun) dari kamali Boneaka yang usianya memasuki 85 tahun menegaskan bahwa telur itu milik Kamali Boneaka, milik Putri Boneaka. Tahun 2022 ini, Kamali Boneaka menerima 20 butir telur, Kamali Putal dan Kamali Banggai Lalongo masing-masing 18 butir. Kedua kamali itu harus diberikan, karena dahulu di situ tempat tinggal paman Putri Boneaka.

“Ada pula pembagian untuk keraton, sama jumlahnya dengan telur untuk para juru mudi kapal,” kata Sapitu, Jum’at (09/12).

Sementara itu, Ahmad Abuhadjim mengatakan, proses pengambilan telur juga terbilang sakral, Selasa (06/12), parang, tombak terhunus. Ketika prosesi malabot Tumbe, keluarga pemilik telur tidak boleh menghadiri acara. Sayangnya tidak terkaver agenda tersebut oleh Dinas Pariwisata. Ahmad protes ke Dinas Pariwisata, katanya; mengapa kalian kalau mengemas acara ini, tidak undang kami-kami ini yang tahu adat dan prosesi.

“Sesungguhnya acara puncaknya itu dua, tanggal 4 dan tanggal 6. Yang ada saat itu (tanggal 06), hanya saya bertiga, yang biasa bajaga itu telur. Saya sama dua orang lagi, dorang basudara, ada Ali Asgar dengan AR Asgar. Kitorang tiga yang bajaga,” ujar Ahmad.

Telur diterima di Keraton Banggai (Foto: DOK HUMAS PEMDA BALUT)

Cerita yang Hilang di Tolo

Saya menemui Sutrisno (40 tahun), pemerhati adat, di rumahnya, Desa Mansalean (11/12), berjarak 1 jam dari Pelabuhan Banggai menggunakan kapal, warga lokal menyebutnya bodi. Mansalean belum memiliki akses listrik 24 jam, dan hanya menyala pada pukul 5 sore dan padam pukul 6 pagi.

Saat saya ke Mansalean dan berbincang dengan Sutrisno mengenai proses yang dilakukan di Tolo, dia bercerita panjang dengan cahaya remang-remang, karena desa Mansalean sedang mendapat giliran lampu padam.

Tolo menjadi tempat singgah para rombongan dari Batui karena burung maleo pernah dipelihara di Tolo, yang dibawa oleh seorang Putri Raja dari selirnya yang bernama Putri Sikudek. Cerita yang turun-temurun masyarakat Mansalean tahu bahwa Adi Soko membawa oleh-oleh dari Jawa termasuk sepasang burung maleo.

Ketika dicari tempat yang cocok untuk dipelihara, ditemukanlah di Lambako atau Lambak namanya dulu (nama Desa). Namun burung tersebut tidak lama tinggal di Lambako karena orang-orang mulai bermukim, dan membangun rumah. Maleo menjadi terusik, mereka teriak-teriak, dan ribut, sehingga raja ambil lagi, dan serahkan kepada anak dari selirnya, namanya Putri Sikude.

“Dari putri Sikude ini, sejarahnya yang sampai ada kaitannya dengan namanya Labobo—Kecamatan. Labobo ini dulu namanya Popolo, Togong Popolo, Pulo Popolo. Ceritanya, Putri Sikude ini kabur, lari dari keraton pada malam hari, karena masalah perjodohan. Pangeran yang dijodohkan dengan saudaranya, anak Raja dari istri pertama, malah tertarik pada Putri Sikude. Tidak ingin terjadi perselisihan di Keraton, maka dia inisiatif malam-malam meninggalkan istana. Dia berpikir, kalau dia lewat darat, pulau Banggai itu kecil, ‘saya tetap didapat’. Jadi ia ambil jalur melintas laut. Maka tengah malam dia berlayar, angin kencang. Juru kapalnya berteriak, ‘Bobo bobo, kiri-kiri!”

Kalau dari Banggai ketika menyusuri pinggiran, pulau Labobo ini berada di sebelah kiri. Karena dilihatnya ada daratan, mereka singgah. Putri Sikudek menginjakkan kaki pertama kali di Labobo, tempat sebelah Tolo. Saat melintasi Tanjung Batu, si putri melihat Tolo yang pasirnya hampir sama dengan pasir di Lambako, kemerah-merahan, sepasang burung maleo akhirnya tinggal di Tolo. Di situlah putri melepas burung maleo yang dibawanya.

Sayangnya keberadaan Putri Sikudek diketahui, sehingga ia bersembunyi di Lalong. Maleo ditemukan orang kerajaan, dibuatkan kandang/sangkar dan dibawa kembali ke kerajaan. Raja lalu mengutus 2 tim, satu untuk mencari anaknya, dan satu lagi mencari tanah untuk burung maleo, Putri Sikudek tidak kembali ke keraton dan meninggal di Lalong.

Sutrisno mengaku cerita itu tidak pernah diketahui publik. Ketika Malabot Tumbe dihelat, Tolo dilupakan ceritanya. Mengenai benar atau salah cerita itu, Sutrisno ingin cerita ini hadir bersama cerita tentang maleo yang lain dan dibahas, supaya diketahui titik temunya. *)