Sementara itu, Ahmad Abuhadjim mengatakan, proses pengambilan telur juga terbilang sakral, Selasa (06/12), parang, tombak terhunus. Ketika prosesi malabot Tumbe, keluarga pemilik telur tidak boleh menghadiri acara. Sayangnya tidak terkaver agenda tersebut oleh Dinas Pariwisata. Ahmad protes ke Dinas Pariwisata, katanya; mengapa kalian kalau mengemas acara ini, tidak undang kami-kami ini yang tahu adat dan prosesi.
“Sesungguhnya acara puncaknya itu dua, tanggal 4 dan tanggal 6. Yang ada saat itu (tanggal 06), hanya saya bertiga, yang biasa bajaga itu telur. Saya sama dua orang lagi, dorang basudara, ada Ali Asgar dengan AR Asgar. Kitorang tiga yang bajaga,” ujar Ahmad.
Cerita yang Hilang di Tolo
Saya menemui Sutrisno (40 tahun), pemerhati adat, di rumahnya, Desa Mansalean (11/12), berjarak 1 jam dari Pelabuhan Banggai menggunakan kapal, warga lokal menyebutnya bodi. Mansalean belum memiliki akses listrik 24 jam, dan hanya menyala pada pukul 5 sore dan padam pukul 6 pagi.
Saat saya ke Mansalean dan berbincang dengan Sutrisno mengenai proses yang dilakukan di Tolo, dia bercerita panjang dengan cahaya remang-remang, karena desa Mansalean sedang mendapat giliran lampu padam.
Tolo menjadi tempat singgah para rombongan dari Batui karena burung maleo pernah dipelihara di Tolo, yang dibawa oleh seorang Putri Raja dari selirnya yang bernama Putri Sikudek. Cerita yang turun-temurun masyarakat Mansalean tahu bahwa Adi Soko membawa oleh-oleh dari Jawa termasuk sepasang burung maleo.