OLEH: Jamaluddin Mariajang

Bakal terjadinya dualisme DKST Sulawesi Tengah adalah realitas yang memalukan pada wajah kebudayaan negeri ini. Cermin kebudayaan yang rusak ini justru pemicunya adalah sikap jumud Pemerintah yang justru menjadi penghambat proses konstruksi budaya.

Bagaimana remehnya prilaku Pemerintah yang masih bernafsu mengutak atik suatu lembaga, karena menyuntikan dana sepeser dua peser pada dunia yang mengakibatkan terangkatnya kehormatan dan martabat bangsa. Begitu hebatnya bebatuan mineral menyumbat otak dan hati mereka untuk meruntuhkan kebudayaan adiluhung. Barangkali otak batu mereka lebih berharga dari sumber kreatifitas yang membuat manusia menjadi cerdas, tertib, berakhlak? Nilai nilai yang terpendam dalam gagasan kebudayaan warisan nenek moyang kita. Betapa sedih menyaksikan kenyataan ini.

Tapi apa kelakuan oknum pejabat pemerintah kita? Bagai menumpahkan minyak ter ke dalam segelas susu. Produksi budaya dimanipulasi sebagai kegiatan bagi bagi duit dengan menggunakan instrumen proyek.

Dimana letak rusaknya prilaku ini?. Dengan cara ini para aparatur telah menjangkitkan penyakit tamak kepada seniman, budayawan, hingga lebih mahir memproduksi RAB (Rencana Anggaran Biaya) dari pada menghasilkan karya seni yang bermutu dan punya nilai estetika tinggi. Namun hari ini, karya para seniman/ budayawan kita lebih terlihat sebuah pekerjaan asal jadi, miskin gagasan, miskin estetika. RAB minded telah menghinakan kreatifitas mereka, bahkan sekaligus meruntuhkan martabat seniman/ budayawan.

Mengapa? Karena pikiran mereka dikendalikan sebesar porsi RAB yang tersedia. Lalu apakah ini kesalahan aparatur atau seniman/ budayawan?. Jawabnya, kedua unsur ini punya afinitas (persenyawaan) yang berorientasi untung rugi. Mereka mengabaikan sejauh jauhnya mutu produksi dan estetika. Disinilah letak runtuhnya spirit kebudayaan itu.

Kelembagaan memang sangat penting untuk mendukung produksi kebudayaan. Kita membutuhkan karakteristik fungsional suatu kelembagaan semacam Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) untuk menjadi pusat pengembangan mutu khususnya Quality Control, jejaring, produksi gagasan, advokasi, terhadap karya karya inovatif maupun indegenus. Dengan sifat fungsional ini para seniman/ budayawan akan hidup dalam lingkungan yang membuatnya bebas dan produktif untuk berkarya. Kelembagaan seperti ini harus aman dari intervensi kepentingan politik dan orientasi untung.

Sebaliknya, bila terjadi disfungsionalisasi kelembagaan seperti digambarkan, maka klaim materalisme akan menyibukkan seniman. Para petualang dari aparatur dan budayawan mbeling (nirkarya wajah aktifis) turut meramaikan produksi RAB dan makelar anggaran proyek negara.

Dalam kondisi ini, kelembagaan rawan diintervensi para petualang (free riders) yang terkesan seperti mahir menata organisasi, buat proposal, punya akses ke pejabat, buat paper kerja, tanpa tujuan yang jelas dalam rekayasa kelembagaan yang konstruktif. Tetapi, mereka hadir tanpa basis pengetahuan dan pengalaman yang kuat, sehingga kelembagaan DKST hanya menjadi ruang pencitraan sambil senggol keuntungan proyek.

Proses pelemahan fungsi DKST sebagai salah satu lembaga kebudayaan, yaitu dengan memanipulasi proses suksesi dan pengelolaan organisasinya. Kasus DKST yang bakal menimbulkan dualisme kepengurusan itu, telah diaduk aduk oleh oknum pejabat pemerintah termasuk Gubernur Rusdy Mastura sendiri.

Kronologi defungsionalisasi DKST yaitu; Pertama, Gubernur memperpanjang SK DKST 2021-2022, bukan kewenangannya. Jika Gubernur punya kewenangan memperpanjang masa bakti ormas, mengapa perlu musyawarah atau pleno? Harusnya kembali ke organisasi kesenian anggota pleno (Dewan Kesenian Kabupaten/Kota). Karena merekalah pemilik hak suara.Tidak ada pengurus Ormas di muka bumi ini yang masa baktinya diperpanjang pemerintah.

Aneh, SK perpanjangan itu justru ditelaah oleh biro hukum Kantor Gubernur, mengandung cacat hukum, karena itu harus dicabut. Tetapi kemudian diperbaiki dalam rupa apa, lalu disembunyikan supaya seniman tidak tahu. Lebih celaka lagi, SK itu dijadikan dasar formil pencairan bantuan.

Kedua, tidak ada pleno pengurus DKST aktif untuk memutuskan perpanjangan masa bakti hingga saat ini. Tentu ini mengaburkan konsideran keputusan gubernur yang mengandung pertimbangan sosiologis. Ketiga, membiarkan Kadis Dikbud menyetujui pencairan uang negara pada lembaga Fiktif (DKST demisioner). Dapat diduga ada penyalahgunaan uang negara oleh tindakan pembiaran yang dilakukan oleh gubernur karena akibat tindakan nepotisme.

Dengan cara yang tidak terpuji keputusan Gubernur yang inkonstitusional ini dibiarkan aktif. Entah ahli hukum kelas kambing dari mana yang belajar menggunakan azas presumtio Iustae Causa. Maksudnya, suatu keputusan pejabat TUN harus selalu dianggap benar hingga dapat dibuktikan kesalahannya.

Ini alibi pejabat TUN (tentu masukan tim ahlinya) untuk menghajar pihak yang berlawanan dengan keinginan Gubernur. Sebab, walaupun tindakan Gubernur ini salah secara hukum, tetapi membuktikan kesalahannya melalui pengadilan akan menguras waktu yang lama. Sementara, keinginan Gubernur untuk mendukung pengurus DKST sesuai keinginannya segera terwujud melalui MUSDA DKST yang direstuinya. Disinilah intervensi pemerintah itu terjadi secara vulgar.

Saudara Gubernur Rusdy Mastura seharusnya tidak pantas melindungi kecorobohan ini dengan otot kekuasaanya. Tindakan yang memalukan ini seharusnya dikoreksi. Betapa murahnya alasan melindungi posisi Kadis Dikbud yang jelas bertindak salah sehingga berujung pada bakal munculnya dualisme kepengurusan DKST.

Sungguh tragis sebuah lembaga kebudayaan (DKST) menjadi sarana pelampiasan nafsu berkuasa. Profesionalisme ditekan sedemikian rupa oleh arogansi kewenangan pejabat pemerintah yang mencampuri indenpendensi DKST. Padahal praktik ini bertentangan dengan status DKST dalam perda No 8 tahun 2021 sebagai lembaga independen.

Kebudayaan memiliki sifat kemerdekaan akal dan nurani untuk mengantar seseorang atau suatu masyarakat pada kreatifitas yang tinggi. Tetapi, kekuasaan seringkali membatasi dan meruntuhkannya. Kita telah mempelajari runtuhnya peradaban (hasil kebudayaan) di bagian dunia yang dahulu sangat maju oleh adanya intervensi kekuasaan melalui sirkulasi elit dan penaklukan.

Cukup menjadi pelajaran bagi kita pada skala mikro bahwa intervensi kekuasaan terhadap kebudayaan akan mematikan kreatifitas budaya itu sendiri. Dalil ini melandasi ramalan kita bahwa campur tangan pemerintah dengan otot kekuasaannya yang refresif akan menjadi faktor penghambat pemajuan kebudayaan.

Bakal munculnya dualisme DKST merupakan tanda begitu besarnya intervensi kekuasaan terhadap kebudayaan di negeri ini. Praktik birokrasi kekuasaan dibawah pemerintahan Rusdy Mastura Gubernur Sulawesi Tengah, jika tidak berubah maka akan dicatat dalam sejarah negeri ini sebagai faktor resistensi kebudayaan yang paling parah.

Catatan ini mungkin tidak begitu penting, tapi skedar menjadi lubang kecil untuk mengintip amburadulnya menejmen pemerintahan yang dipimpin Rusdy Mastura khususnya dalam rangka pemajuan kebudayaan di Sulawesi Tengah.

Selamat ber-Musda DKST Pak Gubernur!!!!