“Ini satu-satunya rumah paling tua yang tersisa sepanjang saya tinggal di Donggala. Sejak saya datang di Donggala tahun 1936 rumah itu sudah ada hingga sekarang, sedangkan rumah-rumah sejenis di sekitarnya sudah lama tidak ada,” kata Ambo Adar (85) salah satu saksi sejarah.
BAGI warga kota tua Donggala, sebutan rumah tua yang dimaksud adalah sebuah bangunan panggung bergaya arsitektur lama yang tidak ada lagi mirip di kota itu. Hingga dekade 1950-an, bangunan rumah berarsitektur tradisional masih banyak seperti yang tersisa di sudut persimpangan Jalan Giliraja-Jalan Bioskop, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan banawa, Donggala.
Rumah tersebut kini, meskipun sejak dua tahun lalu Pemerintah kabupaten Donggala sudah memasangi papan pengenal dan peringatan dengan tulisan “Cagar Budaya,” tapi kenyataannya hanya sebatas papan nama saja. Belum ditetapkan secara nyata sebagai bangunan yang dilindungi sesuai aturan dan mekanisme. Hal itu diakui pula pemilik bangunan maupun yang menjaga rumah tersebut.
Di tengah pesatnya peralihan bangunan berarsitektur lama menjadi modern, toh rumah ini tetap bertahan. Setiap orang yang baru datang melancong ke Kota Donggala, yang kebetulan melintas di sekitar rumah tersebut tentu rumah ini akan menjadi pusat perhatian. Tidak sedikit yang penasaran ingin tahu ketika melihatnya, karena dari gaya dan corak arsitekturnya memang lain dari rumah-rumah sekitarnya.
Ambo Adar yang berasal dari daerah Mamuju, Sulawesi Barat menetap di Donggala merupakan salah satu di antara sekian orang tua yang menjadi saksi sejarah perkembangan bangunan-bangunan tua di Donggala. Rumah itu memiliki banyak kisah. Rumah ini adalah saksi bisu Kota Donggala dari masa ke masa di mana dan sebagai bukti kejayaan kota niaga itu tempo dulu.
“Pada tahun 1950-an adanya banyak bangunan tua di Donggala dengan gaya arsitektur tradisional yang menarik, namun kemudian banyak yang sudah hancur disebabkan pemboman saat Permesta, maupun kemudian dijual oleh pemiliknya, sehingga diganti bangunan baru,” kata Abdullah Yahya, tokoh masyarakat yang rumahnya berada di Labuan Bajo.
Pada bagian-bagian dinding beranda atau ambing depan (gandara dalam bahasa Kaili) yang lazim dimiliki rumah panggung, masih terlihat ukiran-ukiran ragam hias yang cukup menarik yang sudah jarang ditemui pada bangunan-bangunan rumah panggung saat ini. Ragam hias yang terukir di beranda itu mencirikan kekhasan dan nuansa Islam yang mendominasi bangunan berarsitektur tradisi zaman dahulu.
Husen Aldjufri yang menjaga rumah tersebut, adalah salah satu putra dari Sifah Haruna yang juga salah satu cucu dari Umar Haruna-Pua Sehang yang merupakan pendiri rumah tersebut.
Menurut cerita Husen di rumah tua itu sering jadi tempat persinggahan Guru Tua (Habib Sayid Idrus Bin Salim Aldjufri, pendiri Alkhairaat) kalau melakukan kunjungan kerja atau silaturahmi keluarga di Donggala. Karena Idrus Aldjufri suami dari Sifah Haruna masih merupakan kerabat keluarga dari Guru Tua.
Menurut riwayat, Sifah Haruna sebagai anak pertama yang kawin dengan Idrus Aldjufri yang juga bangsawan Arab melahirkan enam orang anak yaitu Umar Aldjufri, Abu Bakar Aldjufri, Muchsen Aldjufri, Ahmad Aldjufri, Husen Aldujfri dan Muhammad Aldjufri.
Keberadaan keturunan Arab di Donggala sebagai saudagar pada zamannya memiliki peran yang cukup besar dalam pengembangan perekonomian jauh sebelum etnis Cina mendominasi perdagangan seperti sekarang. Komunitas Arab di Dongala cukup besar dan berbaur bersama masyarakat setempat.
Yang jadi pertanyaan sampai kapan masa depan rumah ini dipertahankan keaslian dan keantikannya? Tak ada kepastian, sebab rumah ini kata si penghuni status rumah ini ada beberapa ahli warisnya. Sangat disayangkan bila suatu saat keantikan dan kekhasannya sebagai saksi sejarah kota tua Donggala hilang begitu saja bila pemerintah daerah Kabupaten Donggala tidak mau peduli melestarikan rumah-rumah tua sebagai salah satu cagar budaya Donggala.(JAMRIN ABUBAKAR)