SIANG itu, sekira tahun 2000. Rumah Habib Saggaf di Jl. Sis Aljufri I terlihat senggang. Di ruang tamu, hanya ada kami berdua. Saya melaporkan kondisi “dapur” Tabloid MAL (Minggu Alchairaat). Sekaligus menjemput naskah jawaban pertanyaan pembaca pada rubrik Umat dan Masalahnya.
Habib Saggaf mengasuh rubrik ini sejak awal dekade 90-an. Jawaban ditulis tangan pada secarik kertas. Butuh ketelitian sebelum memulai pengetikan. Apalagi isinya menyangkut hukum Islam.
Karena itu, siapapun yang datang menjemput naskah, diminta membaca kembali di hadapan beliau. Agar tidak mengulang kesalahan yang pernah redaksi lakukan sebelumnya.
Tiba di baris kesekian membaca, dari luar terdengar seseorang memberi salam. Saya berhenti membaca. Seorang pria paruh baya tak dikenal berdiri di depan pintu. Sepintas ia menyimpan masalah. Dugaan saya benar.
Lelaki berperawakan kecil itu pun memulai curhatannya. “Habib, saya barusan bertengkar dengan isteri. Dia tidak ba dengar saya lagi. Sopir taksi (angkot) maniso (genit) yang kami tumpangi berhasil menggodanya. Saat menunggu penumpang lain di terminal Masomba, kami berdua duduk di jok belakang. Giliran mobil mau jalan, isteri saya pindah duduk bersama sopir. Sudah saya larang, tapi dia te’ ambil pusing (peduli). Saya emosi, dan turun dari taksi. Kami pun berpisah jalan.
Saya tiba-tiba teringat Habib. Kebetulan ada orang yang tunjukkan alamat, sehingga saya bisa sampai di sini. Habib, sekarang apa yang harus saya lakukan. Mungkin ada amalan yang bisa dibagikan pada saya?”
Sebotol air mineral yang sejak tiba ia genggam erat, disodorkan kepada Habib. “Mohon Habib bacakan doa. Semoga berkah, dan isteri saya bisa kembali jadi penurut”.
Habib tersenyum mendengarnya. Beberapa nasihat mengalir dari bibirnya. Beliau memenuhi seluruh hajatan sang tamu. Raut wajah pria itu tak terlihat kusut lagi. Ia merasa lega, dan pulang membawa ketenangan batin.
Tamu model pria paruh baya ini, bukanlah sesuatu yang baru bagi Habib Saggaf. Segala rupa hajat dan permasalahan umat beliau layani setiap hari. Belum lagi urusan madrasah dan internal organisasi Alkhairaat. Juga murid-murid yang bergantian datang membawa kitab untuk qiraah (baca kitab). Praktis, segala urusan seperti bermuara padanya. Baik di kantor PB Alkhairaat maupun di rumah. Belum lega bila belum jumpa Habib.
Pintu rumah Habib Saggaf di Jln Sis Aljufri I dan Jl. Mangga selalu terbuka untuk siapa saja. Bahkan bagi non muslim sekalipun. Ibarat telaga, ada kejernihan, kesejukan, keteduhan dan kedamaian di sana. Sehingga tepat apa yang diungkapkan Ustad Haikal Husen Al Amri saat menyampaikan tausyiah tahlilan malam pertama. Habib Saggaf adalah rujukan dan telaga bagi umat. Tak seorang pun yang datang menemuinya kecuali pulang merasa lega dan membawa kesejukan hati serta ketenangan jiwa.
Habib dengan sabar melayani seluruh hajat tamu yang berkunjung. Apa yang diminta diberikannya. Tanpa membedakan siapapun dia.
Dan kini, tuntas sudah tugas beliau. Tugas mengajar, mendidik dan menyagomi umat. Sebagaimana amanah kakeknya, Guru Tua.*
Sofyan Arsyad