Rokok Salah Satu Akar Masalah Kemiskinan di Sulteng

oleh -
Ahlis Djirimu

PALU – Pengamat Ekonomi Universitas Tadulako, Dr. Ahlis Djirimu, mengungkapkan bahwa tren angka kemiskinan yang meningkat di Sulawesi Tengah memiliki akar masalah yang terdiri dari tiga komponen utama: beras, ikan, dan rokok. Menariknya, rokok yang kerap diabaikan rupanya berperan penting dalam meningkatnya tren kemiskinan ini.

Ia mengemukakan bahwa tren merokok cenderung meningkat pada usia yang semakin muda, sehingga perlu langkah konkret untuk mengatasi hal ini.

Rokok menjadi salah satu penyumbang kemiskinan, karena tingkat konsumsinya yang tinggi. Diketahui harga rokok berkontribusi terhadap faktor kemiskinan .

Menurutnya, tidak bisa dipungkiri, rokok masih menjadi salah satu komoditas primadona yang dikonsumsi masyarakat miskin di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI mencatat 10 jenis komoditas dengan pengeluaran terbesar di pedesaan maupun perkotaan Indonesia. Salah satu komoditas yang menduduki peringkat ke dua teratas adalah rokok. Komponen ini menempati posisi pengeluaran lebih tinggi dari bahan komoditas lainnya, antara lain telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah, kopi bubuk dan kopi instan, tongkol, roti, cabe rawit, dan kue basah.

BACA JUGA :  Anwar Hafid Yakin Program Satu Rumah Satu Sarjana Bisa Mengantar menuju "Sulteng Emas 2045"

“Ternyata rokok bisa menyebabkan kemiskinan, tren yang merokok itu usianya bukan semakin naik tetapi usia yang merokok saat ini semakin ‘menurun’ dimana perokok sekarang semakin muda usianya,” ujar Ahlis Djirimu, di Aula KPPN Palu, Selasa (29/8).

Sementara, dalam upayanya menangani isu kemiskinan Ahlis mengatakan, angka kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, Pemprov Sulteng belum mempunyai konsep dan strategi yang spesifik maupun tematik, serta spasial dalam mengatasi kemiskinan. Strategi spesifik menyangkut konsep dasar original, bukan replikasi dari program pengentasan kemiskinan sebelumnya. Bila pun strateginya bernama Gerak Cepat Pengentasan Kemiskinan Berdaya, maka orientasinya langsung direct attack poverty, bukan melalui perantara dan/atau konversi ke pengadaan barang dan hewan yang menimbulkan mentalitas keuntungan proyek dan moral hazard.

BACA JUGA :  Bawaslu Sulteng Lakukan Pengawasan Melekat Produksi Surat Suara

“Apa solusinya? Pemerintah provinsi kabupaten dan kota harus bersama-sama bersinergi membuat peraturan daerah penyangga harga. Penuhi dulu harga pangan di dalam Sulawesi Tengah baru diantar Pulau kan. Nah yang terjadi tidak seperti itu, kemudian yang lain itu solusinya adalah sasaran program saat ini penanganan kemiskinan tidak serta-merta harus secara general apalagi pemerintah pusat memberikan target pada tahun 2024 Sulawesi Tengah yang namanya kemiskinan ekstrem harus berada ada harus berada di angka 0. Sementara saat ini provinsi Sulawesi Tengah masih berada di angka 3,05 persen,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menggarisbawahi bahwa solusi yang efektif haruslah berfokus pada program-program yang tertarget, bukan pendekatan umum. Pemerintah pusat pun disarankan untuk mempertimbangkan tujuan yang lebih realistis, mengingat angka kemiskinan ekstrem di provinsi ini masih mencapai 3,05 persen jauh dari target nol pada tahun 2024.

BACA JUGA :  Anwar Hafid Sebut Morut Lahir dari Tangannya

Dalam data terbaru dari Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan Sosial (TNP2K), seseorang dikategorikan sebagai sangat miskin (ekstrem) jika masuk dalam Desil-1, miskin biasa dalam Desil-2, dan hampir atau rentan miskin dalam Desil-3. Angka ekstrem kemiskinan tercatat mencapai 60 dalam kategori Desil-1, menunjukkan kompleksitas masalah yang harus diatasi.

“Upaya mengatasi kemiskinan ekstrem memerlukan program-program berbasis sosial yang terukur, seperti subsidi, Program Keluarga Harapan (PKH), dan distribusi beras untuk kelompok miskin. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengurangi angka kemiskinan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Dengan adanya kesadaran bersama dan aksi nyata, masalah kemiskinan di daerah ini bisa dihadapi dengan lebih efektif dan berkelanjutan,” ujar dia.

Reporter: Irma/Editor: Nurdiansyah