PALU – Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpusatakaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, menggelar seminar penguatan budaya literasi di era digital dan pemilihan duta baca perpustakaan periode 2024-2025, di kampus UIN Datokarama, Kamis (01/08).

Kegiatan yang dibuka Wakil Rektor (Warek) III UIN Datokarama, Dr Faisal Attamimi ini, menghadirkan para kepala perpustakaan se-Kota Palu, perwakilan pelajar SMA/SMK sederajat, mahasiswa, dan duta baca Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kepala Perpustakaan UIN Datokarama Palu, sekaligus ketua paniti seminar, Rifai, SE., MM, mengatakan, kegiatan ini merupakan bagian dari program Perpustakaan UIN Datokarama Palu yang sengaja menghadirkan para kepala perpustakaan yang ada di Kota Palu.

“Hal ini kami lakukan untuk dapat bersinergi dan bekerjasama dalam melakukan inovasi dan kreativitas dalam proses pengembangan perpustakaan, termasuk saling memberikan motivasi sehingga budaya literasi dapat meningkat,” katanya.

Harus diakui, kata dia, perpustakaan sendiri baru diakui dan mendapatkan apresiasi secara nasional, di empat tahun terakhir ini. Di tahun-tahun sebelumnya, perpustakaan masih dianggap tidak kreatif dan inovatif, sehingga kurang mendapat dukungan.

Terkait literasi sendiri, kata dia, perkembangannya di Sulawesi Tengah, masih di bawah standar, jika dibandingkan dengan daerah lain.

“Saya baru-baru dari Jogya melihat beberapa perpustakaan dan sempat melakukan MoU. Program kegiatan kita cukup jauh berbeda, salah satunya karena kurangnya fasilitas yang kita miliki dalam proses pengembangan perpustakaan. Yang seharusnya perpustakaan sudah harus memiliki room theater atau ruang baca dan ruang-ruang pembelajaran lainnya, tapi hari ini kita belum memiliki,” ungkap Rifai.

Ia juga menjelaskan maksud tema yang diangkat dalam seminar, yaitu “Penguatan Budaya Literasi Moderasi Beragama dalam Bingkai Kebhinekaan di Tengah Gempuran Teknologi Informasi”.

Kata dia, selain menjadi program secara nasional, khususnya di bidang keagamaan, hal ini juga karena melihat dinamika perkembangan kebangsaan saat ini yang mulai retak karena persoalan hubungan toleransi.

“Apalagi di tengah gempuran informasi ini, media-media sosial yang kita gunakan ini, kalau kita tidak cermat dan cerdas memahami, maka bisa terjadi perpecahan di negara kita ini,” jelasnya.

Warek III UIN Datokarama Palu, Dr Faisal Attamimi, saat membuka kegiatan, mengatakan pentingnya memperdalam literasi dalam berbagai aspek, mengingat zaman digitalisasi, teknologi informasi saat ini yang terbuka luas dan bebas.

“Kita memerlukan pemahaman, sumber bacaan dan sebagainya serta tulisan yang bisa menjadi rujukan, bisa menjadi pilihan informasi bagi masyarakat kita,” ujarnya.

Menurutnya, sumber yang keliru yang dibaca akan mempengaruhi pikiran, pikiran akan mempengaruhi sikap, dan sikap akan menentukan apa yang menjadi tindakan.

“Oleh sebab itu, validitas sumber itu penting sekali, dan untuk bisa mengetahui kualitas sumber kebenaran apapun yang kita terima, harus melalui literasi,” tekannya.

Lanjut dia, budaya literasi ini, sekaligus memberi bekal untuk bersikap kritis, berhati-hati terhadap informasi-informasi yang disebar oleh mereka yang menggunakan fasilitas digitalisasi.

“Karena digitalisasi itu adalah alat saja, tetapi siapa yang menggunakan alat itu adalah manusianya. Jadi ibarat senjata senjata, siapa yang di belakang senjata ini, dialah yang akan menentukan apa fungsi dari alat ini,” terangnya.

Menurutnya, jika memiliki budaya baca dan budaya literasi yang kuat, maka diharapkan informasi-informasi yang sifatnya hoax, bisa diantisipasi sekaligus bisa mendidik masyarakat untuk membaca informasi dengan cerdas, tidak menelan mentah-mentah.

“Dalam bahasa agama disebut tabayyun. Apalagi di dunia akademik, kampus seperti ini, tentunya mahasiswa harus didorong untuk memperdalam literasi supaya kita memiliki argumen-argumen yang dibangun dari landasan yang kokoh, berbasis ilmu pengetahuan,” katanya.

Ia juga mengaitkan budaya literasi dengan moderasi beragama. Sebab, kata dia, moderasi beragama juga masih sering disalahpahami oleh sebagian masyarakat. Tak hanya masyarakat umum, mahasiswa dan tenaga pendidik yang belum belajar secara langsung tentang moderasi beragama itu, kadang-kadang masih ada stigma yang negatif.

“Kegiatan-kegiatannya seperti ini saya kira perlu untuk disemarakkan sehingga tidak saja menjadi rutinitas program, tetapi akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi mahasiswa,” tutupnya. (RIFAY)