DONGGALA – Sejarawan, Amiruddin Masri (52) menyambut positif rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala untuk melakukan pengembangan kawasan perkotaan berbasis heritage.
Namun, menurut Amiruddin, pertimbangan sejarah tidak bisa dilepaskan dari pembangunan yang akan dilakukan, sebab Donggala merupakan kota kolonial, sehingga identitasnya harus tetap nampak.
“Apapun bentuk pengembangan kota yang akan dilakukan pemerintah daerah tidak boleh mengabaikan fungsi dan peran Kota Donggala sebagai kota kolonial, dengan segala bentuk dan morfologi kotanya yang telah dirancang oleh pemerintah kolonial sebagai kota pelabuhan. Identitas itu perlu dipertahankan, jangan sampai hilang,” tegasnya, Selasa (27/10).
Menurut alumni Unversitas Negeri Yogyakarta ini, beberapa bangunan di Donggala dalam kondisi rusak, bahkan ada yang telah berubah bentuk sehingga perlu dikembalian ke bentuk awal.
Ia mencontohkan bekas rumah Asisten Residen di Gunung Bale, Tangsi Militer, rumah pejabat PELNI di Jalan Lamarauna, Kantor Bea Cukai dan Kantor Coprafonds.
Selain itu, ada pula beberapa bangunan di Jalan Mutiara dan Jalan Giliraja yang sejak dulu berfungsi sebagai gudang kopra.
“Sampai saat ini kawasan kota tua merupakan laboratorium pembelajaran sejarah lokal bagi pelajar dari luar daerah. Fungsi sebagai laboratorium dapat dilihat dari motivasi guru dan pelajar untuk berkunjung ke Kota Donggala,” jelasnya.
Beberapa waktu lalu, ahli dari Fakultas Teknik Untad melalui Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah (Balitbangda) Kabupaten Donggala melakukan pemaparan untuk menetapkan Bagian Wilayah Perencanaan (BWP).
Programnya berupa rencana struktur ruang untuk mendukung pembangunan dan penataan pusat pelayanan, perwujudan untuk mendukung pengendalian pemanfaatan ruang budidaya berupa sempadan sungai, taman, hutan kota dan ruang terbuka hijau.
Selain itu berupa program perlindungan, pelestarian dan preservasi bangunan gedung dan lingkungan.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay