PALU – Ratusan massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat Bolano (FPRB) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menolak penangkaran buaya di wilayah laut yang kini dijadikan sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa Tanjung Santigi.
Pasalnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) berencana menangkar 5.000 ekor buaya dalam kawasan yang ada di wilayah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) itu.
Penolakan tersebut disampaikan saat menggelar aksi di Gedung DPRD Sulteng, Selasa (15/05).
“Yang pasti ini akan meresahkan kami. Bagaimana mungkin wilayah yang selama ini menjadi tempat nelayan mencari ikan dijadikan penangkaran buaya,” ujar perwakilan massa aksi, Ahmar.
Menurutnya, rencana Kepala BKSDA itu disampaikan beberapa waktu lalu ke publik melalui media. “Ini program tidak masuk akal,” ujarnya.
Tak sampai disitu, massa aksi juga mendesak pencabutan Surat Keputusan (SK) Nomor: 99/ Menhut-II/2015 tentang Penetapan Kawasan Konservasi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Suaka Marga Satwa Tanjung Santigi seluas 1.502 hektar.
SK itu dinilai sudah merampas ruang hidup warga yang selama ini menggantungkan hidup di wilayah tersebut. Apalagi, sebagian wilayah kelola warga, seperti lahan kebun dan perumahan dimasukkan dalam wilayah kaplingan BKSDA Suaka Marga Satwa Tanjung Santigi.
“Selain itu, program konservasi BKSDA Suaka Marga Satwa Tanjung Santigi faktanya sudah mempersempit wilayah Desa Bolano Barat. Apalagi seiring dengan pertumbuhan penduduk, dengan adanya kawasan konservasi ini dengan sendirinya menghilangkan wilayah cadangan masyarakat Desa Bolano Barat dan sekitarnya,” tambahnya.
Ironisnya, lanjut dia, di Dusun IV dan V Desa Bolano Barat, wilayah perkampungan warga juga masuk dalam kapilngan kawasan konservasi.
Sementara Anggota DPRD Sulteng, Ibrahim A Hafid juga sepakat menolak rencana program penangkaran buaya tersebut.
Menurutnya, jika BKSDA tetap memaksakan program tersebut, maka sama halnya mematikan sumber penghidupan warga Bolano.
Ibrahim juga menguraikan secara sosiologis kondisi di wilayah Bolano ini memiliki ciri khas, berbeda dengan wilayah lainnya, sehingga menjadi penting untuk secepatnya diselesaikan.
“Saya paham betul wilayah ini (Desa Bolano) karena saya berasal dari sana. Saya minta selepas dari pertemuan ini, kita tindak lanjuti dengan pertemuan di Bolano. Nanti kita hadirkan Kepala BKSDA dan pihak terkait lainnya disana,” ujar legislator Partai NasDem dari Daerah Pemilihan (Dapil) Parimo itu.
Dia juga meminta kepada Kepala BKSDA agar segera menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai imbas penetapan sepihak kawasan konservasi di Bolano.
“Sudah bukan eranya warga dijadikan sebagai objek dalam proses pengambilan kebijakan, apalagi jika itu terkait langsung dengan kepentingan warga,” tutup Ibrahim.
Mewakili Kepala BKSDA, Mulyadi menyampaikan bahwa program itu belum sepenuhnya update.
“Dan hingga kini juga belum berjalan. Jadi mohon beri kami kesempatan untuk meneruskan aspirasi yang bapak ibu sampaikan,” katanya.
Terkait SK tersebut, Mulyadi mengatakan bahwa kronologi penetapan kawasan itu sudah diusulkan sejak tahun 1980-an.
“Masukan kami, hendaknya diperjelas dulu akurasi data dan dokumen terkait sejarah dan hukum adatnya. Karena saya yakin sepanjang ini bisa dibicarakan bersama pasti akan ada solusi bersama,” katanya.
Selain Ibrahim Hafid, massa aksi juha diterima dua legislator Partai NasDem lainnya, yakni Muh. Masykur dan Nasution Camang. (RIFAY)