PALU – Sebuah video Presiden Amerika, Donald Trump berdurasi satu menit beredar di youtobe. Video yang diposting dari chanel the muslim religion tanggal 8 Desember 2017 itu memperlihatkan Donal Trump yang bertingkah seperti orang gila, bahkan sangat jauh dari kesannya sebagai orang tua dan menjatuhkan wibawanya sendiri sebagai seorang Presiden.

Betapa tidak, Trump nampak sedang bermain-main layaknya anak-anak ingusan. Kelihatan seperti orang mabuk berat, Trump terpaksa harus diamankan oleh seseorang. Dia bahkan terlihat berontak tidak mau meninggalkan tempat itu. Alhasil, Trump terpaksa diseret meninggalkan tempat itu.

Sebagian kalangan menilai, penampakan memalukan itu akibat teguran Allah SWT kepada sang Presiden bermulut jamban yang telah mendukung usulan Israel untuk memindahkan Ibu Kota Negara Zionis itu, dari Tel Avib ke Yerussalem.

Dia merampas tanah yang diberkahi Allah itu dari tangan Palestina.

“Hari ini, akhirnya kami menyadari hal yang nyata, bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel, ini tidak lebih dari sekedar pengakuan akan kenyataan, ini juga hal yang tepat untuk dilakukan,” demikian kata Trump dari Ruang Penerimaan Diplomatik Gedung Putih, Rabu 6 Desember waktu AS atau Kamis pagi lalu.

“Setelah lebih dari dua dekade keringanan, kita tidak lagi mendekati kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulangi formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan hasil yang berbeda atau lebih baik,” ujarnya.

Kalimat deklarasi dan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu akhirnya resmi disampaikan Presiden AS. Dunia langsung bereaksi keras. Ratusan ribu warga Jalur Gaza turun ke jalan. Mereka menentang keputusan Trump. Sejumlah pemimpin Eropa juga mengecam keputusan Trump. Pengakuan sepihak AS atas Yerusalem berpotensi menggagalkan seluruh upaya menghentikan bara api yang masih membara di tempat kelahiran para nabi tersebut.

Sikap si mulut jamban, Donald Trump itu dicap radikal setelah sekian lama, posisi Yerusalem sengaja dipertahankan sebagai “milik bersama”. Yerusalem adalah kunci. Dan mengakuinya sebagai teritori Israel sama artinya dengan memupus mimpi perjuangan kemerdekaan Palestina yang tertindas.

Pengamat Timur Tengah Abdul Muta’ali mengatakan, keputusan Presiden Trump itu merupakan sikap gila. Tindakan tersebut juga akan melukai dan membuat marah empat kelompok agama dan bangsa-bangsa atau negara ini.

“Sikap Donald Trump yang mendukung Jerusalem jadi Ibu Kota jelas sangat melukai empat pihak ini, yaitu masyarakat Muslim, masyarakat Kristen, bangsa-bangsa Arab, dan rakyat Palestina pada khususnya,” ujar Muta’ali.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan keputusan AS itu berpotensi memperuncing konflik regional di Timur Tengah. China sudah lama meyakini, Palestina harus menjadi negara merdeka. Pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamanei dengan tegas mengatakan keputusan AS adalah bukti kegagalan dan ketidakmampuan politik luar negeri negara tersebut.

RIWAYAT YERUSALEM

Keputusan Trump memang kontroversial. Jerusalem adalah wilayah yang menjadi sumber konflik abadi Palestina dan Israel. Keduanya merasa paling berhak atas ‘tanah suci’ tersebut. Yerusalem adalah kota di mana Yahudi, Muslim dan Nasrani sama-sama mengklaim sebagai sebuah tempat spiritual bagi keyakinan mereka. Di Yerusalem ketiga agama ini memiliki tempat ziarah penting. Masjid Al Aqsa bagi Muslim, Dinding Ratapan bagi Yahudi, dan Gereja Makam Kudus bagi Nasrani.

Sejak 69 tahun lalu, ketika negara Israel didirikan, Yerusalem terbagi dua. Kawasan baratnya dikuasai Israel, dan bagian Timurnya di bawah pengawasan aliansi Yordania-Arab.

Lalu pada tahun 1967, atau 19 tahun usai berdirinya Israel berhasil mencaplok kawasan Timur Yerusalem. Merasa sudah menguasai seluruh wilayah tersebut, Israel lalu mendeklarasakin Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Namun demikian, klaim itu tak mendapat respons masyarakat internasional. Yerusalem, kota dengan simbol penting bagi umat Yahudi, Kristen dan Islam itu tetap dalam status quo, dan terbuka bagi siapa pun. Jalur perdamaian menjadi satu-satunya harapan, agar kota yang telah diperebutkan berabad-abad itu tetap ada dan tak diklaim siapa pun.

Solusi dua negara menjadi tawaran  yang selalu disampaikan setiap kali terjadi pembicaraan damai. Indonesia juga kerap mengajukan “solusi dua negara.” Di mana Palestina dan Israel sama-sama menjadi negara merdeka. Sebagai sahabat dekat AS, Israel kerap melobi negara adikuasa itu untuk meloloskan mimpi mereka. Namun harapan tinggal harapan.

Presiden AS sebelumnya memilih berhati-hati untuk segera mewujudkan keinginan Israel. Tapi Donald Trump berbeda. “Jika presiden sebelumnya hanya membuat janji besar kampanye dan gagal menepati, hari ini saya menepatinya,” kata Trump.

Sementara Palestina sudah lama mengincar wilayah Yerusalem Timur untuk menjadi ibu kota mereka di masa depan dan merawat mimpi itu melalui lobi dan konsistensi menjaga kesepakatan-kesepakatan damai.

Di bagian lain, ambisi busuk Israel untuk merealisasikan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota dan pemindahan Kedubes AS tak bisa dilepaskan dari Aturan Enam Bulanan atau Waiver Authority yang harus ditandatangani oleh setiap Presiden AS untuk mengantisipasi Undang Undang AS Tahun 1995 tentang Kedutaan Besar Yerusalem.

Undang Undang tersebut memandatkan bahwa AS harus menempatkan kedutaannya untuk Israel di Yerusalem. Jika tidak, maka akan berimplikasi pada tak cairnya sebagian anggaran di

Kementerian Luar Negeri AS.

Selama ini, UU itu disikapi dengan pertanggungjawaban Presiden AS dengan menandatangani Waiver Authority yang memiliki masa berlaku hingga 6 bulan. Keputusan menandatangani aturan tersebut sejak tahun 1998 memberi tenggang bagi setiap eksekutif untuk belum merealisasikan pemindahan Kedubes AS dengan alasan kepentingan nasional AS.

Aturan enam bulan harus diteken Presiden AS sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap Kongres AS agar sanksi pembekuan anggaran bisa dihindari. Di sisi lain, tak menandatangani Aturan Enam Bulanan mengandung pesan bahwa Presiden AS akan segera memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem sebagaimana perintah UU Tahun 1995.

Senin, 4 Desember 2017 seharusnya menjadi tenggat waktu bagi Trump untuk meneken Waiver Authority tersebut namun sayangnya belum dipastikan  Trump sudah menandatanganinya. Ditengarai, Trump akan mengabaikan aturan tersebut sejalan dengan isu pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv.

Penasihat Presiden Trump yang tak lain adalah menantunya, Jared Kushner mengatakan bahwa Trump belum final akan meneken Waiver Authority.

Juru Bicara Gedung Putih Hogan Gidley mengatakan bahwa Trump memang akan menunda pengumuman pengakuan atas Yerusalem menyusul Presiden AS masih melakukan kunjungan ke Utah. Namun kata dia, yang menjadi soal bukan lagi perihal memindahkan Kedubes atau tidak melainkan memilih waktu yang tepat untuk mengumumkannya.

“Presiden sudah yakin soal isu ini jadi bukan lagi tentang mengubah sikap namun yang menjadi soal adalah tentang kapan diumumkan saja,” kata Gidley. (RIFAY/VIVA)

https://www.youtube.com/watch?v=XKwyy9pTKM4