PALU – Di tengah meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan remaja di Sulawesi Tengah, sekelompok anak muda tergabung dalam Relawan Muda KPKP-ST (Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah) kembali turun langsung ke desa-desa untuk membangun kesadaran publik.
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025 menjadi momentum yang mereka isi dengan aksi konkrit: edukasi tentang bahaya kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan kegiatan penghijauan untuk mitigasi bencana.
Puncak rangkaian kegiatan digelar pada Selasa, 10 Desember 2025 bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia di SMP Negeri 21 Sigi, Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan. Sebelumnya, kegiatan serupa dilakukan di SMP Negeri 2 Labuan, Kabupaten Donggala.
Menghadapi Krisis Kekerasan Digital
Dalam beberapa tahun terakhir, laporan kasus kekerasan terhadap remaja perempuan meningkat di Sulawesi Tengah. Banyak kasus bermula dari perkenalan di media sosial, yang kemudian berujung pada kekerasan seksual, pemerasan, hingga perdagangan orang (TPPO). Situasi tersebut membuat Relawan Muda KPKP-ST memilih menyasar anak-anak SMP di wilayah pedesaan dinilai lebih rentan.
Feby, salah satu relawan berasal dari Desa Loli Pesua, menegaskan bahwa edukasi menjadi benteng pertama.
“Saat ini remaja perempuan di desa sangat rentan. Banyak terjebak bujuk rayu melalui media sosial. Kami ingin mereka tahu apa harus dilakukan jika melihat atau mengalami kekerasan,” ujarnya.
Dalam sesi edukasi, para relawan memaparkan bentuk-bentuk KBGO, cara mengenali tanda bahaya, hingga langkah melapor. Mereka menggunakan metode dialog dua arah agar siswa lebih berani bertanya dan bercerita, mengingat banyak kasus tidak terungkap karena korban takut atau tidak tahu ke mana harus melapor.
Kepala SMP Negeri 21 Sigi, Fadlia, menyebut kegiatan tersebut sangat relevan dengan kondisi siswa di wilayahnya.
“Anak-anak biasanya lebih terbuka jika diajak bicara oleh kakak-kakaknya. Kami sangat berterima kasih karena relawan datang langsung berbagi pengalaman dan pengetahuan,” katanya.
Menurut Fadlia, Desa Bangga sudah lama menjadi wilayah dampingan KPKP-ST. Kedekatan tersebut membuat komunikasi antara relawan dan siswa berjalan lebih cair.
Selain edukasi, Relawan Muda KPKP-ST juga menggelar kegiatan penanaman 100 bibit pohon produktif durian, kelengkeng, dan mangga di bantaran Sungai Peulu, Desa Rogo, pada Sabtu (6/12).
Lokasi dipilih, karena desa tersebut pernah dilanda banjir bandang besar pada 2021. Bahkan dua tahun sebelumnya, Desa Bangga juga mengalami bencana serupa.
Kegiatan penghijauan tersebut dilakukan bersama karang taruna dan aparat desa, memanfaatkan bantuan bibit dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi.
Ketua Relawan Muda KPKP-ST, Ahdiansyah, menyebut penanaman pohon bukan sekadar kegiatan simbolis.
“Kami, generasi muda, sedang menghadapi krisis iklim. Pohon dan hutan adalah masa depan kami. Jangan rusak alam ini lagi,” katanya dengan nada tegas.
Ia menambahkan, bahwa banyak bencana terjadi di Sulawesi Tengah maupun wilayah lain di Indonesia harus menjadi pengingat bahwa mitigasi tidak boleh sekadar wacana.
Sekretaris Desa Rogo, Gafur mendampingi relawan sejak awal kegiatan, menilai inisiatif para pemuda tersebut sangat penting.
“Desa kami pernah luluh lantak akibat banjir bandang. Penghijauan ini tidak hanya untuk mitigasi, tetapi nantinya hasil buah juga bisa dimanfaatkan warga,” ujarnya.
Menurutnya, penanaman pohon merupakan program jangka panjang desa dan terus dilakukan setiap tahun, terutama bekerja sama dengan komunitas pendamping seperti KPKP-ST.
Rangkaian kegiatan 16 HAKTP 2025 tersebut membawa pesan jelas: membangun ruang aman bagi remaja perempuan tak cukup hanya dengan kampanye. Harus ada aksi nyata menyentuh level paling dekat dengan kehidupan mereka sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial.
Relawan Muda KPKP-ST ingin remaja desa menjadi generasi tidak hanya sadar bahaya kekerasan, tetapi juga memiliki keberanian untuk bicara, solidaritas untuk saling melindungi, dan kepedulian untuk menjaga lingkungan mereka.
Dengan kombinasi edukasi dan aksi ekologis, gerakan ini diharapkan menjadi model pendekatan baru dalam kampanye anti kekerasan: tidak hanya melindungi tubuh dan psikologis remaja, tetapi juga ekosistem tempat mereka tumbuh.***

