PALU – Relawan BANUATA merespon balik pernyataan yang dilontarkan Tenaga Ahli (TA) Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Andika, yang mempertanyakan kontribusi Ahmad Ali selama duduk sebagai anggota DPR-RI.

Anggota Presidium Relawan BANUATA, Mhalik Parilele, justru mempertanyakan kompetensi Andika dalam menilai kontribusi seorang anggota dewan.

Kata dia, selama ini Ahmad Ali sedang menjalankan tugasnya sebagai legislator DPR-RI, yang mencakup fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

“Respons tersebut sangat tidak pada tempatnya. Tugas tenaga ahli adalah memberikan saran kepada Gubernur Sulteng, bukan terlibat dalam polemik politik. Ini tenaga ahli atau politisi?,” ujar Mhalik, Senin (10/06).

Magister ekonomi jebolan Universitas Trisakti ini menyatakan, performa ekonomi tidak hanya bisa diukur dari statistik di atas kertas. Ia pun mendukung pandangan Ahmad Ali yang menyebut adanya paradoks ekonomi di Sulawesi Tengah.

Meskipun pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah mencapai 11,91 persen pada 2023, ketimpangan ekonomi masih sangat nyata. Pertumbuhan ini bahkan melambat sebesar 3,31 persen dibandingkan tahun 2022.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin meningkat dari 12,33 persen menjadi 12,41 persen pada 2023; alias terjadi penambahan lebih dari 7.000 warga yang masih bergelut dengan kemiskinan.

Mhalik juga mengkritik narasi Pemprov Sulteng yang sering mengklaim peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurutnya, klaim peningkatan PAD dari Rp900 miliar menjadi Rp2 triliun justru tak dirasakan manfaatnya bagi warga.

“Apa artinya investasi dan pertumbuhan ekonomi jika masyarakat tetap terperangkap dalam kemiskinan? Bahkan, tingkat pengangguran masih mencapai 2,95 persen, dan tingkat kemiskinan ekstrem berada di 1,44 persen,” ujar Mhalik.

Mhalik menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, Sulawesi Tengah seolah kehilangan program-program pengentasan kemiskinan, hanya mengikuti kebijakan-kebijakan pemerintah pusat.

Pembangunan infrastruktur yang terlihat besar di permukaan masih tidak mampu menyediakan akses ke fasilitas dasar seperti air bersih dan listrik di banyak wilayah pedesaan, yang paling terdampak kemiskinan terutama di sektor agraria.

Menurut Mhalik, kekayaan sumber daya alam Sulawesi Tengah belum dimaksimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Gembar-gembor hilirisasi tidak memberikan dampak langsung pada kesejahteraan, terutama dalam pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH).

“Bagaimana kita bicara kemajuan, ketika rata-rata lama sekolah hanya 8,96 tahun dan harapan lama sekolah hanya 13,33 tahun? Minimnya investasi di bidang pendidikan dan kesehatan menunjukkan adanya kesalahan prioritas dari pemerintah provinsi,” tegasnya.

Relawan BANUATA pun menyerukan reformasi kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan bersama di Sulawesi Tengah.

“Agar pertumbuhan ekonomi hanya akan jadi fatamorgana -indah dilihat tapi tiada manfaat-. Harusnya situasi ini dilihat sebagai alarm bagi para pembuat kebijakan untuk memperbaiki kesalahan,“ pungkas Mhalik. *