PALU – Fakta lapangan sesuai temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, menunjukkan banyaknya aktivitas pertambangan yang tidak patuh dengan aturan. Salah satu ketidakpatuhan tersebut adalah tidak adanya upaya reklamasi di area pertambangan, pasca perusahaan tersebut mengeruk hasil.
Direktur Eksekutif Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw, Kamis (28/02), mengatakan, jika mengikuti prosedur yang benar, maka setelah mendapatkan izin operasi produksi, perusahaan tambang harus membuat RAB (Rancangan Anggaran Belanja) sebagaimana logika good mining practice (pengelolaan tambang yang benar), yang didalamnya sudah menghitung dana jaminan reklamasi.
“Dana jaminan reklamasi dititip perusahaan tambang di rekening bersama dengan pemerintah daerah (pemda). Jadi kalau perusahaan melakukan reklamasi pascatambang, maka uangnya bisa diambil lagi. Tapi kalau tidak melakukan reklamasi maka pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga untuk melakukan reklamasi,” tutur Etal, sapaan akrabnya.
Namun faktanya, kata dia, di Sulteng sendiri hampir tidak ada good mining practice. “Di mana ada perusahaan yang di RAB-nya itu jelas tertuang wilayah yang terdampak, kemudian berapa biaya yang dia keluarkan untuk melakukan reklamasi. Hampir tidak ada,” ungkapnya.
Dia mengakui adanya dana yang disetor untuk jaminan reklamasi. Tetapi, kata dia, mekanisme mengeluarkan dana jaminan itu juga tidak berdasarkan hitungan kerusakan alam.
“Besar sebenarnya jaminan reklamasi kita. Cuma problemnya, besarannya tidak sesuai dengan kerusakan alam yang ditimbulkan. Dalam hitung-hitungan lingkungan, satu hektar itu bisa habis Rp7 miliar untuk mereklamasi, yang mereka titip di Pemda paling banyak Rp50 miliar. Jadi kalau satu hektar Rp7 miliar, sementara mereka beraktifitas di lebih dari 200 hektar, maka 50 miliar itu angka yang sedikit,” ujarnya.
Rata-rata, kata dia, perusahaan yang melakukan aktivitas tambang itu membuang top soil (lapisan atas) tanah.
“Di mana ada yang menyimpan top soilnya? Tidak ada. Selain PT Vale, tidak ada yang menyimpan top soil itu. Selain itu bohong,” tandasnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Abdul Haris juga mengatakan, sepengetahuannya, dana jaminan reklamasi itu diberikan perusahaan di awal, sebelum melakukan aktivitas pertambangan, tergantung berapa luasan yang dikelola.
“Reklamasi pascatambang wajib bagi sebuah perusahaan. Tapi memang fakta lapangan yang kami temukan, ada banyak perusahaan yang tidak melakukan reklamasi, seperti di Donggala bisa dilihat aktivitas pertambangan tanpa ada aktivitas reklamasi setelahnya,” kata Aris, sapaan akrabnya.
Dia menegaskan, harus ada semacam hukuman kepada perusahaan yang lalai melakukan reklamasi.
“Kami menagih komitmen serius pemerintah khususnya Dinas ESDM dalam persoalan ini,” tegasnya.
Pihaknya melihat adanya ketidaktegasan pemda dan tidak maksimal memastikan perusahaan bisa melakukan reklamasi.
Padahal, kata dia, Pemda mempunyai kemampuan menghukum perusahaan yang tidak patuh.
“Jadi upaya memastikan sudah tidak dilakukan, hukuman terhadap perusahaan juga tidak dilakukan. Intinya regulasi yang sudah mengatur proses reklamasi pascatambang itu tidak dijalankan dengan baik. Padahal banyak regulasi yang cukup ketat mengatur itu,” tekannya.
Melihat fakta lapangan, pihaknya pun mempertanyakan, ke mana dana reklamasi yang disetor perusahaan itu.
“Kami tidak begitu pasti ada berapa perusahaan yang memberikan jaminan uangnya itu, tapi kalau misalnya perusahaan tersebut beroperasi, harusnya ada dana yang dia setor. Jadi pertanyaannya, bagaimana dengan dana yang disetor itu. Kami tidak mau berspekulasi menuduh Pemda menggunakan dana itu,” ujarnya.
Tapi dari sisi nilai ekonomis, kata dia, lingkungan yang rusak tidak bisa dibayar begitu saja dengan jaminan reklamasi.
“Apalagi kalau dananya itu justru tidak digunakan untuk reklamasi,” pungkasnya. (RIFAY)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.