OLEH: Jayadin, S.H*
Penanganan dugaan pelanggaran pemilu pada setiap tahapan membawa pada konsekwensinya sendiri, pelanggaran pemilu dapat diklasifikasi mulai dari pelanggaran administrasi, pelanggaran etik, pelanggaran pidana dan pelanggaran hukum lainnya.
Pada setiap jenis pelanggaran pemilu itu memiliki pola penanganan yang berbeda, perbedaan ini dapat ditemukan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, peraturan bawaslu nomor 7 tahun 2022 tentang penanganan temuan dan laporan pelanggaran pemilihan umum, peraturan bawaslu nomor 8 tahun 2023 tentang penyelesaiaan pelanggaran administratif pemilihan umum dan peraturan bawaslu nomor 3 tahun 2023 tentang sentra penegakkan hukum terpadu.
Khusus penanganan pelanggaran pidana pemilu dalam pasal 476 dan 486 uu nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dilakukan penanganan melalui sentra penegakan hukum terpadu, yang mana dalam sentra gakkumdu tersebut terdiri dari Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.
Terbentuknya sentra gakkumdu ini dalam menyelesaikan pelanggaran tindak pidana pemilu memiliki tujuan untuk utama yaitu menyamakan pemahaman dan pola penanganan terhadap tindak pidana pemilu.
Disadari atau tidak dua tujuan utama itu tentunya menjadi tanggungjawab dari masing-masing unsur yang tergabung dalam sentra gakkumdu baik itu bawaslu, kepolisian dan kejaksaan melaksanakanya. Jika dua tujuan itu mudah dilaksanakan maka dapat dipastikan penanganan tindak pidana pemilu akan berjalan dengan baik.
Namun, semua itu tidak semudah dengan menjalankanya dalam praktek penegakkan tindak pidana pemilu, sebab hal yang terberat dilakukan dari dua tujuan itu adalah menyamakan pemahaman dibanding pola penanganan.
Pemahaman
Pemahaman pada konteks ini adalah adanya perbedaan penafsiran terhadap tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU no 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Soal adanya perbedaan penafsiran ini, sebenarnya jauh sebelumnya sudah menjadi pembahasan teoritis dalam ilmu hukum itu sendiri, yang mana ketika dibangku kuliah hukum kita sudah diperkenalkan dengan berbagai macam aliran dalam ilmu hukum, mulai aliran legal positivism, legal realism dan sociological jurisprudence.
Disinilah awal yang melatarbelakangi cara pandang setiap orang yang belajar ilmu hukum sehingga itupun akan mempengaruhi proses penegakkan hukum itu sendiri.
Pada penanganan tindak pidana pemilu yang dilakukan dalam sentra gakkumdu, dimana disana banyaknya tafsir-tafsir yang berkembang untuk menentukan unsur-unsur pasal yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum.
Seperti, dalam melakukan penanganan tindak pidana pemilu adalah soal menentukan unsur seperti subjek, perbuatan dan tempus (waktu) terjadinya peristiwa hukum. Pada masing-masing unsur itu sering membawa tafsirnya masing-masing. Lain halnya unsur perbuatan dan tempus (waktu), Penentuan yang paling kursial soal penentuan unsur subjek dalam tindak pidana pemilu.
Pembahasan unsur subjek pada sentra gakkumdu terhadap tindak pidana pemilu, unsur subjek nya diatur dalam UU no 7 tahun 2017 tentang pemilu , Tipikal subjek hukum dalam UU ini yang sering menjadi pembahasan yaitu peserta, pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Ketiga tipikal subjek diatas sering menjadi pembahasan utama dalam melakukan penanganan tindak pidana pemilu pada sentra gakkumdu, jika hanya menentukan tipikal subjek tindak pemilu hal ini tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan sebab dalam menentukan tipikal subjek itu cukup dengan membuktikanya dengan mengajukan pertanyaan apakah tiga tipikal subjek itu pada pemilu di daftarkan pada Komisi Pemilihan Umum.
Namun, pada prateknya hambatan terhadap penentuan unsur tersebut terkadang mengahadirkan tafsir lain seperti misalnya unsur subjek itu dalam tindak pidana tidak dapat berdiri sendiri, subjek itu harus di dukung dengan adanya niat. Yang mana niat untuk melakukan pelanggaran itu harus dapat digambarkan dengan jelas dan tersistematis pada peristiwa hukum.
Pola penanganan
Lain halnya dengan dalam menyamakan pemahaman yang memiliki hambatanya tersendiri, namun pada pola penanganan tindak pidana pemilu pada sentra gakkumdu tidak begitu sulit dan menghambat untuk melakukan penanganan tindak pidana pemilu. Sebab masing-masing baik Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan mengikuti pola penanganan sebagaimana telah diatur dalam UU no 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dan Perbawaslu 3 tahun 2023 tentang sentra penegakkan hukum terpadu pemilihan umum.
Pada pola penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu baik bawaslu, kepolisian dan kejaksaan misal dalam hal melakukan permintaan keterangan atau kalrifikasi yang dilakukan oleh bawaslu terhadap pelapor, terlapor, saksi dan juga ahli menurut pasal 22 ayat 2 dapat didampingi oleh penyidik dan jaksa.
Pendampingan sejak awal ini menunjukan bahwa pola penangan itu sendiri tidak mengalami hambatan dikarenakan pola penanganan itu sendiri telah diatur secara jelas dalam Perbawaslu 3 tahun 2023 tentang sentra penegakkan hukum terpadu pemilihan umum.
Namun, pada pola penangan tindak pidana pemilu perlu diatur seperti pengelolaan barang bukti tindak pidana pemilu. Pada pengelolaan barang bukti tindak pidana pemilu tidak ada acuan serta dasar yang jelas dari UU dan juga perbawaslu itu sendiri.
Memang pada perbawaslu pengelolan barang bukti sudah diatur dalam Perbawaslu no 19 tahun 2018 tentang pengelolaan barang dugaan pelanggaran pemilu dan pilkada. Namun pada perbawaslu ini tidak mengatur serta memberikan spesifikasi jenis barang bukti yang lahir dari tindak pidana pemilu harus dikelolah bagaimana.
Jika harus menggunakan perbawaslu tersebut untuk melakukan pengelolaan barang bukti dari tindak pidana pemilu maka tentunya perbawaslu demikian jangan sampai mengenyampingkan peraturan kapolri dan juga peraturan jaksa agung yang mengatur juga soal pengelolan barang bukti.
*Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Parigi Moutong