Realisasi Dana Penanganan Inflasi di Poso Terendah di Sulteng, Ahlis: Sumbernya dari Kanwil DJPb

oleh -
Mohammad Ahlis Djirimu

PALU – Associate Professor Fakultas Ekonomi dan Pembangunan Universitas Tadulako (FEB-Untad), Moh. Ahlis Djirimu angkat bicara menanggapi sebuah postingan di akun media sosial Facebook (FB) milik IskandarLmk.

Postingan itu diduga menyoroti pernyataan Ahlis tentang rendahnya realisasi dana penanganan inflasi di Satker Kabupaten Poso.

Pernyataan Ahlis Djirimu itu termuat di Media Alkhairaat dengan judul “Pengamat Ekonomi Kritik Kerja Pemprov, Satker, TPID dan TKPK” yang ditangkap layar lalu disebarkan oleh akun FB atas nama Halis Said.

Akun FB yang diduga milik Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Poso dari Fraksi Demokrat, Iskandar Lamuka, kemudian membuat status bahwa postingan Halis Said itu adalah informasi sampah yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak up date).

Postingan ini diduga telah dihapus oleh yang bersangkutan, namun sudah terlanjur ditangkap layar oleh beberapa orang.

Moh. Ahlis Djirimu kepada media ini, Ahad (05/02), menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan rendahnya realisasi dana penanganan inflasi Kabupaten Poso yang hanya Rp617,31 juta dari alokasi Rp7,41 miliar atau hanya 8,33 persen.

Menurutnya, angka-angka itu berdasarkan dari Data Belanja Wajib Penanganan Inflasi yang bersumber dari Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sulteng tertanggal 13 Januari.

Ahli merincikan, anggaran Peruntukkan Bantuan Sosial mencapai Rp5,58 miliar, namun realisasinya baru Rp600 juta atau 10,76%, anggaran Penciptaan Lapangan Kerja teralokasikan sebesar Rp286 juta, namun realisasinya baru mencapai Rp17,28 juta.

Selanjutnya, anggaran Perlindungan Sosial Lainnya mencapai Rp1,55 miliar, namun realisasinya pada 13 Januari 2023 masih Rp0 sehingga realisasi secara aggregate baru mencapai 8,33%.

Kemudian, pada 25 Januari 2023, Belanja Wajib Penanganan Inflasi di Kabupaten Poso, realisasinya secara keseluruhan mencapai Rp4,46 miliar dari alokasi Rp7,41 miliar atau baru 60,25% per 25 Januari 2023.

“Ini merupakan realisasi terendah kedua dari bawah, di atas Kabupaten Buol sebesar 51,66 persen dan realisasi Kabupaten Poso berada di bawah realisasi Kabupaten Morowali Utara sebesar 72,53 persen,” tutur Regional Chief Economist, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI itu.

Secara detail, lanjut dia, pada 25 Januari 2023 tersebut, realisasi Belanja Wajib Penanganan Inflasi Komponen Bantuan Sosial di Poso baru mencapai Rp2,86 miliar dari alokasi Rp5,78 miliar atau baru 51,24%. Realisasi Belanja Wajib Penanganan Inflasi Komponen Penciptaan Lapangan Kerja telah terealisir Rp286 juta atau 100%.

“Ketiga, realisasi Belanja Wajib Penanganan Inflasi Komponen Perlindungan Sosial Lainnya mencapai Rp1,32 miliar dari alokasi Rp1,55 miliar atau baru 85,35 persen,” ungkapnya.

Olehnya, kata dia, Kabupaten Poso, Morut dan Buol relatif kehilangan momen mengoptimalkan Belanja Wajib Penanganan Inflasi tersebut, baik ketepatan mutu dan ketepatan waktu untuk melindungan tergerusnya daya beli masyarakat miskin khusus 2.117 Rumah Tangga Miskin (RTM) kategori desil 1 “Sangat Miskin” dan 5.177 RTM desil 2 kategori “Miskin”, serta 6.464 RTM desil 3 kategori “Hampir Miskin” yang dapat tergerus pendapatannya.

“Di samping itu, Belanja Wajib ini dapat menolong 2.509 Rumah Tangga Perempuan sesuai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS),” jelasnya.

Ahlis juga menjelaskan adanya kewajiban bagi daerah untuk menganggarkan belanja wajib dalam rangka penanganan inflasi, pasca pengumuman penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi oleh pemerintah pada 3 September 2022 lalu.

Seiring pengumuman tersebut, kata dia, pada tanggal 5 September 2022, pemerintah melalui Kementrian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.

Di Pasal 2, mengatur dalam rangka mendukung pelaksanaan PMK tersebut, daerah diwajibkan menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial untuk periode Oktober-Desember 2022.

“Perlu saya garisbawahi bahwa belanja wajib tersebut harus terealisir pada Oktober-Desember 2022. Belanja wajib perlindungan meliputi pemberian bantuan sosial termasuk pada ojek, usaha mikro, kecil, menengah dan nelayan, penciptaan lapangan kerja, serta pemberian subsidi transportasi angkutan umum di daerah. Besarannya 2 persen dari Dana Transfer Umum (DTU) sebagaimana diatur oleh Perpes tentang APBN tahun anggaran 2022,” jelas Ahlis.

Menurutnya, belanja wajib ini tidak termasuk 25 persen dari DTU yang telah dianggarkan dalam masing-masing APBD tahun 2022.

Mengapa periode Oktober-Desember 22? Sebab kata dia, dampak penyesuaian BBM tersebut akan terasa mulai Oktober. Pada Desember tahun 2022, biasanya jelang nataru, trend harga sembako akan naik, selanjutnya akan menggerus daya beli masyarakat khasnya masyarakat miskin lebih spesifik mereka yang kategori miskin ekstrem.

“Selain itu, pada akhir Desember, para ekspatriat yang bekerja di Indonesia mudik ke negaranya. Mereka butuh mata uang dolar, euro atau Yuan. Bila permintaan akan mata uang asing ini meningkat, maka mendorong dampak rambatan kenaikan hrga di negara mitra dagang Indonesia ke R.I kenaikan hrga di Indonesia atau inflasi impor. Pengaruh ganda ini yang patut diantisipasi,” tandasnya.

Reporter: Irma
Editor: Rifay