PALU – Anggota Panitia khusus (Pansus) Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehab Rekon) pasca bencana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu , Ridwan Basatu lantang menyuarakan aspirasi masyarakat, khsusunya masyarakat korban bencana likuifaksi di KeLurahan Petobo.
Dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP), terkait dengan penanganan pasca bencana 2018 lalu, di Ruang Sidang Utama DPRD Kota Palu, Selasa (2/2).
Ridwan Basatu mengeluhkan kebijakan pemerintah terhadap proses administrasi yang harus dilengkapi masyarakat dalam pemenuhan pembangunan Hunian tetap (Huntap) mandiri.
“Kesannya masyarakat dipersulit dengan administrasi. Saya kalau ada yang dipersyaratkan oleh World bank, saya kira apa semua formulirnya harus disiapkan saja dan itu disampaikan kepada masyarakat. Agar masyarakat ini tidak berulang-ulang dimintai, terkait dengan administrasi yang sudah disampaikan sebelumnya,” pintanya.
Pria yang akrab disapa RB itu menilai, kebijakan pemerintah sangat mempersulit korban bencana untuk memenuhi hak-hak dasar mereka.
Dia mencotohkan, salah satunya adalah jika masyarakat mendirikan hunian dari tanah hibah, yang bersangkutan harus memiliki hubungan keluarga dan persetujuan isteri dan anak. Sementara, dia mengaku selaku salah satu pemberi tanah kepada masyarakat korban bencana. Tidak semua yang diberikannya lahan itu keluarga dekat.
“Tapi kalau dari world bank atau PUPR mengsyaratkan seperti itu, sama juga namanya mempersulit. Dari awal Pansus ini saya sampaikan. Tolong kalau ada yang memilih Huntap mandiri, administrasinya tolong dimudahkan, baik itu dari pihak RT, kelurahan, Camat sampai di Badan Pertanahan. Kalau di pertanahan sudah oke. Tetapi masih ada lagi di bawahnya proses-proses administrasi yang dipersulit,” keluhnya.
Selain itu, Ketua Partai Hanura Kota Palu itu juga menyentil terkait dengan masalah pembebasan lahan yang akan diperuntukan bagi korban bencana likuifaksi Petobo.
“Ini adalah salah satu langklah untuk menyelesaikan masalah yang ada di Petobo. Saya mohon hal ini dimasukan dalam rekomendasi Pansus. Salah satunya adalah soal ganti rugi. Ganti ruginya itu adalah lahan yang sekarang kita bahas ini adalah lahan clear. Kedua, dalam konteks penyelesaian masalah yang ada dalam area 115 hektar, itu bukan peruntukan Huntap, tetapi pada khususnya penyelesaian masalah yang ada di Petobo,” jelasnya.
Ridwan menegaskan, hal tersebut harus diselesaikan karena merupakan masalah untuk semua pihak kedepan, karena jika tidak diselesaikan, dia tidak bisa membayangkan berapa banyak warga di Petobo yang harus masuk dalam area pesantren.
“Olehnya itu saya mohon kepada kita semua, agar memikirkan hal ini untuk masuk dalam rekomendasi Pansus, dalam hal penyelesaian lahan tersebut,” terangnya.
Dikesempatan yang sama, Perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu, Harahab yang juga mengaku sebagai pendamping PUPR menyampaikan, untuk persyaratan Huntap mandiri, berdasarkan komitmen saat rapat di Kantor Wali Kota Palu beberapa waktu lalu. Bahwa biaya pembuatan sertifikat lahan, tidak dibebankan kepada warga, tapi kepada Pemerintah daerah.
“Olehnya itu saya memohon kepada lembaga ini (DPRD-red) mendukung Pemerintah kota memberikan biaya, karena di Petobo itu ada bersertifkat yang dibagi-bagi, ada yang belum bersertifikat diserahkan kepada WTB. Nah saya siap membantu secara teknis dan saya sudah lakukan, bahwa serahkan ke BPN soal mekanisme sampai masyarakat pegang sertifikat,” pungkasnya.
Dia menegaskan, hal tersebut merupakan jaminan dari BPN, akan bertanggungjawab di bidang sertifikat. Hanya saja, Pemkot memohon bantuan biaya. Sebab pembuatan sertifikat membutuhkan biaya dan itu akan masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (BNBP).
“Yang pada intinya PNBP itukan kembali juga kepada warga, tapi setelah keliling-keliling masuk ke kas negara baru kembali,” terangnya.
Dia menejelaskan, untuk satu titik lokasi Huntap mandiri, membutuhkan biaya hingga ditahap mendapatkan sertfikat hanya dengan nilai kurang dari Rp500 ribu. (YAMIN)