Saat bulan Rabiul Awal tiba, kerinduan kepada Nabi Muhammad SAW pun semakin membara. Kelahiran manusia pilihan itu pada 12 Rabiul Awal, selalu disambut dan diramaikan dengan peringatan Maulid Nabi di berbagai penjuru negeri. Tiada lain, kecuali menampakkan kecintaan dan rasa syukur, sekaligus mengenang perjuangannya menebarkan Islam di muka bumi.

Cinta dan rindu terhadap Nabi Muhammad SAW memang mudah diucapkan tapi berat dalam prakteknya. Cinta dan rindu Nabi bukanlah sebuah ibadah biasa, bahkan merupakan tolok ukur iman. Tidak tanggung-tanggung, cinta dan rindu Nabi menjadi barometer sempurnanya iman.

Suatu hari Umar bin Khatab jalan-jalan dengan Nabi sambil berpegangan tangan. Umar sangat bahagia dan merasa sangat dekat dan dicintai oleh Nabi. Saking senang karena tapak tangannya digenggam oleh Nabi, lalu Umar mengatakan: “Ya Rasulullah orang yg sangat saya cintai setelah diri saya adalah Engkau ya Rasulullah.” Mendengar ucapan Umar demikian, lalu Nabi menjawab: “Ya Umar, belum sempurna Imanmu, sebelum sanggup mencintaiku melebihi dirimu, anak dan istrimu, hartamu, serta lainnya.”

Mendengar tanggapan Nabi, Umar kemudian mengatakan, “Ya Rasulullah, mulai sekarang, aku mencintaimu melebihi sayangku kepada diriku, keluargaku, hartaku, dan lain sebagainya.” Lalu, Nabi melanjutkan; “Sekarang engkau Umar, baru masuk orang yang sangat sempurna iman.” Itulah makna hadits Nabi: “Tiada sempurna Iman salah seorang kamu, sebelum mampu mencintaiku, lebih daripada cinta kepada dirinya, keluarga, dan lain sebagainya.”

Adakah cinta kita terhadap Rasul sama dengan cinta Umar bin Khattab kepada Rasul? Boleh jadi iya, tetapi yang jelas kita itu akan berbuah manis, seperti ditegaskan hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA. “Salam atas kalian wahai penghuni (kuburan) tempat orang-orang beriman. Aku insya Allah akan menyusul kalian. Aku ingin sekali berjumpa saudara-saudaraku.” Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kami saudaramu?”

Beliau bersabda, “Kalau kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka (orang-orang beriman) yang belum ada sekarang ini dan aku akan mendahului mereka di telaga.”

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengenali orang-orang (beriman) yang datang setelah engkau dari kalangan umatmu?” Beliau bersabda, “Bukankah jika seseorang punya kuda yang sebagian kecil bulunya putih akan mengenali kudanya di tengah kuda-kuda yang hitam legam?” Mereka menjawab, “Ya’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya mereka akan datang pada hari kiamat dengan cahaya putih karena wudhu. Dan aku akan menunggu mereka di telaga.”

Kerinduan Rasulullah terhadap kita, umatnya, secara tegas juga disampaikan oleh Imam al-Qusyairi dalam kitabnya ar-Risalah. Dia mengutip riwayat dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW pernah bersabda. ”Kapan aku akan bertemu para kekasihku?”

Para sahabat bertanya, ”Bukankah kami adalah para kekasihmu?” Rasulullah menjawab, ”Kalian memang sahabatku, para kekasihku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tetapi mereka percaya kepadaku. Dan kerinduanku kepada mereka lebih besar.”

Akankah kita termasuk mereka yang dirindukan Rasulullah? Jadi, jika Nabi saw. saja merindukan kita, kenapa kita tidak merindukan Nabi? Kalau Nabi menantikan kita di surga, mengapa kita tidak menjemput penantian itu? Karena itu Nabi Muhammad SAW akan menjemput umatnya di surga, dan tidak melangkahkan kaki beliau ke dalamnya sebelum berkumpul umatnya dibimbing beliau menuju surga. Kami merindukanmu ya, Rasul. Wallahua’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)