Dakwah para nabi saat diutus adalah menjaga malu. Sifat ini menjadi tatanan nilai sejak umat manusia hadir. Bahkan, dalam nilai-nilai jahiliyah pun sifat malu menjadi sifat yang harus dijaga.
Saat Abu Sufyan belum masuk Islam, dia ditanya oleh Heraclius soal ciri-ciri Nabi yang diutus di tengah Kaum Quraisy. Abu Sufyan berkata, “Kalau bukan karena malu apabila mereka mengatakan aku berdusta, tentu aku akan berdusta kepadanya.”
Malu adalah fitrah. Perasaan malu tidak bisa dibohongi karena ia turut tertanam sejak seorang manusia dilahirkan. Namun, fitrah ini bisa terkikis dengan berulangnya perbuatan maksiat yang terus kita lakukan. Sensor hati menjadi rapuh. Perbuatan malu tak kuasa menahan gempuran dosa-dosa yang terus terulang.
Pada akhirnya seseorang bisa mendapat predikat “tak tahu malu.” Sebuah penshahih jika saat itu juga ia sudah berbuat sekehendak hati.
Kaidah yang mengatur perilaku manusia tak akan bisa berusaha karena malu sudah tertanam sebagai fitrah. Semua umat Nabi dari awal hingga Nabi Muhammad SAW mendapat keistimewaan tersebut.
Dalam Islam watak, malu itu merupakan bagian dari iman. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai rasa malu adalah orang yang hilang imannya.
Orang hidup bermasyarakat sudah tentu harus mendengarkan apa kata masyarakat tentang dirinya. Masyarakat tak pelak lagi sebenarnya mengetahui apa yang dilakukan anggotanya. Masyarakat pula yang berhak mengoreksi apa-apa kelakuan yang tidak baik atau tak pantas anggotanya.
Bagi yang tak punya malu, omongan atau koreksi masyarakat akan dianggapnya angin lalu.
Ada sebuah ungkapan warisan para nabi, yang menyatakan bahwa sudah rahasia umum, orang yang hilang perasaan malunya tak lain dari orang yang sudah terbiasa berbuat kemungkaran dan kemaksiatan dalam segala jenis dan bentuknya. Ia mau melakukan kejahatan, kelaliman dan kekejian.
Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya, yang dapat diambil sebagai pelajaran dari para nabi terdahulu ialah, apabila kamu sudah tidak mempunyai perasaan malu maka berbuatlah semaumu;” riwayat Imam Bukhari dan Muslim.
Itu berarti, orang yang demikian sulit untuk mau mawas diri, meski berhadapan dengan umpatan dan kecaman orang banyak pun.
Berdasar riwayat Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya. Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya. Bila kepercayaan kepadanya sudah hilang maka ia akan jadi orang yang khianat. Dengan menjadi khianat maka dicabutlah kerahmatan dari dirinya. Bila rahmat dicabut darinya maka jadilah ia orang yang dikutuk dan dilaknati orang banyak. Dan bila ia menjadi orang yang dilaknati orang banyak maka lepaslah ikatannya dengan Islam.
Lantas risalah secara terus-menerus menyerukan sifat ini hingga berakhirnya dunia sebelum pengadilan Allah turun. Jika merasa malu bukanlah sifat yang patut dimiliki, silakan berbuatlah sesukamu.
Maka dalam kondisi demikian, rasa malu harus senantiasa disuburkan dalam diri kaum beriman. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sungguh rasa malu tidak akan mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan” (HR Bukhari dan Muslim).
Tentu malu di sini harus bermakna positif. Malu bermakna positif adalah perasaan yang mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan.
Malu untuk berucap dan berbuat sesuatu yang melanggar ‘khittah’ Allah, karena selalu merasa ada CCTV (closed circuit television) yang memantaunya. Itulah para malaikat yang memang khusus dikirim Allah untuk mengamati dan mencatat setiap ucapan dan perbuatan manusia. “Bagi manusia, ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya secara bergiliran, di depan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah” (Qs Ar-Ra’du: 11).
Jika tidak memiliki rasa malu di dunia, alangkah malu ketika setiap penyelewengan kita kelak terbongkar. Dengan rasa malu, terjagalah martabat kemanusiaan kita secara pribadi dan selamatlah tatanan kehidupan secara keseluruhan. Inilah makna hadis, “Malulah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu” (HR At-Tirmidzi). Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)