Raut kesedihan dibalut duka, masih jelas terlihat dari wajah keluarga korban bencana alam 28 September 2018, saat melayat ke Pekuburan Umum Poboya, di mana tempat orang tua, suami, istri, anak-anak dan saudara mereka dimakamkan secara massal.
Bulan suci Ramadhan 1441 H, menjadi Ramadhan kedua bagi mereka tak dapat lagi berbuka puasa apalagi, sahur bersama, di bangunan rumah yang kokoh tegap berdiri sempurna.
2019 yang lalu, tempat pekuburan massal para korban itu nyaris dipenuhi pusara yang hanya terbuat dari papan tipis namun tak diberi nama oleh yang menancapkannya. Hanya berdasarkan keyakinan bahwa di bawah tanah itu ada saudara mereka yang terkubur.
Ada juga yang sekadar menancapkan sepotong batang kayu yang masih memiliki daun, kemudian dihiasi batu-batu putih hingga menyerupai sebuah makam. Hal itupun dilakukan atas dasar keyakinan yang sama.
Sementara di sisi lain pekuburan itu, sejumlah keluarga korban menancapkan batu nisan lengkap dengan identitas keluarga mereka yang diyakini ikut dimakamkan di tempat tersebut, kemudian lengkap menghiasinya dengan menaruh sebuah bingkai foto sewaktu wisuda.
Pusara itu adalah milik Almarhumah Fitria Gani yang lahir di Poso pada 25 Februari 1997, wafat pada 28 September 2018.
Saat ini, komplek pekuburan massal itu telah ramai. Tak kurang dari 100-an pusara sederhana hingga yang kelihatan mewah berjejer tak beraturan. Padahal sebelumnya Pemerintah Kota Palu telah berjanji untuk merapikan nisan-nisan tersebut, bak taman makam pahlawan.
Sabtu (25/04) kemarin, rombongan pelayat menurunkan standar motornya sekitar 10 meter dari lokasi kuburan massal. Sambil menenteng ceret berisi air dan dua kantong bunga, mereka menuju sebuah makam sederhana.
Ketika sampai, Nurul (34) duduk di depan pusara anak-anak dan suaminya. Ia begitu tercenung mengingat kembali peristiwa maha dahsyat itu. Teriakan minta tolong dari kedua anak serta suaminya sebelum hilang entah kemana saat itu, langsung memecahkan tangisnya.
Sementara dari sisi kanan, saudara perempuannya terus berusaha mengusap bahu, berusaha membesarkan hati Nurul.
Hampir satu jam lamanya, Nurul masih mengusap nisan yang diberi nama Azga, padahal di bawah tanah itu belum dapat dipastikan siapa.
Karena tak lebih dari 1000-an jenazah para korban bencana alam gempa bumi, tsunami dan liquifaksi dimakamkan dengan cara ditumpuk berlapis tiga pada lahan tersebut.
Di tempat yang sama, sepasang suami istri ikut melayat kerabatnya yang sampai saat ini belum diketahui kabarnya. Ia diperkirakan hilang saat berada di titik Festifal Palu Nomoni, salah satu titik yang disapu bersih gelombang tsunami.
“Mereka sekeluarga 12 orang, karena tidak ditahu di mana makanya dibuat satu nisan tapi semua 12 orang itu ditulis semua namanya di sini dan kita yakini jasad mereka ada disini,” ujar Adi (45), sambil menaburkan bunga ke tumpukan tanah tersebut.
Setelah membaca do’a, menyiram dan mengusap nisan itu, Adi bersama istrinya pun beranjak pergi. (FALDI)