Banggai – Kasus sengketa lahan antara PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan petani Toili kembali mengemuka setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Luwuk memutuskan untuk menolak gugatan PT KLS terhadap petani Toili, Andi Hakim, yang selama ini gigih mempertahankan kebun miliknya.
Andi Hakim, yang lahannya berada di wilayah Tetelara, Kecamatan Toili, menghadapi berbagai intimidasi dan bahkan sempat dipenjara akibat konflik tersebut.
“Pada tahun 2012, saya dituduh merusak tanaman kelapa sawit milik perusahaan. Saya ditangkap dan dipenjara selama satu setengah bulan,” ujar Andi Hakim, didampingi istrinya, dalam konferensi pers di Toili, Ahad (20/10) malam.
Selain Andi, puluhan petani lainnya juga menuntut agar lahan garapan mereka dikeluarkan dari Hak Guna Usaha (HGU) PT KLS. Mereka mengklaim bahwa telah mengelola tanah tersebut jauh sebelum perusahaan memperoleh HGU. “Kami sudah menggarap lahan ini sebelum HGU perusahaan ada,” tambah Andi.
Gugatan perdata diajukan PT KLS terhadap Andi Hakim dan petani lainnya seperti Surianto, menyangkut dugaan bahwa mereka mengelola lahan yang masuk dalam wilayah HGU perusahaan. Kasus ini kemudian diproses di Pengadilan Negeri Luwuk, dengan nomor perkara 37/PDT.G/2023/Pn Lwk.
Majelis Hakim akhirnya memutuskan bahwa gugatan PT KLS tidak dapat diterima karena dinilai kabur (obscuur libel) dan memerintahkan perusahaan membayar biaya perkara sebesar Rp 7.555.000.
Noval A Saputra, Wakil Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, mendesak pemerintah daerah agar lebih serius menyelesaikan konflik agraria antara petani Toili dan PT KLS. “Konflik ini sudah berkepanjangan, namun belum ada penyelesaian yang konkret dari pemerintah,” tegasnya.
FRAS juga meminta Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengevaluasi kembali HGU PT KLS yang dianggap telah merambah lahan masyarakat.
Reporter : **/IKRAM