PALU – Majelis Wali Adat Kota Patanggota Palu menjatuhkan vonis Vaya Mbaso terhadap Fuad Plered atas dugaan ujaran kebencian, penghinaan, dan fitnah terhadap Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua).

Tindakan tersebut dianggap mencederai serta menodai harkat, martabat, kehormatan, dan kemuliaan seorang ulama.

Putusan adat dijatuhkan melalui sidang adat yang digelar di Banua Oge/Sou Raja, Kelurahan Lere, Kota Palu, Kamis (10/04).

Ketua Majelis Wali Adat Patanggota Ngata Palu, Arena Jaya Parampasi, didampingi anggota Ardiansyah Lamasitudju dan Atman, dalam putusannya, menjatuhkan sanksi pengasingan sosial terhadap To Sala (terlapor) dari lingkungan masyarakat, serta pengenaan sanksi adat Sampomava Bengga Besi Deana Pitu Ntina Sambei Tambolo, yaitu tujuh pasang kerbau betina besar pengganti leher, sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran adat.

Majelis adat juga menetapkan sanksi tambahan berupa: Sapulu Alima Nggayu Gandisi Posompu (15 lembar kain putih),
Papitu Mata Guma (7 bilah kelewang atau parang adat), Papitu Dula Nu Ada Potande Balengga (7 buah dulang adat tempat kepala).

Selanjutnya, Samporesi Tovau Mbaso (1 ekor kambing jantan), Pitu Ntonga Tubu Puti (7 buah mangkuk adat, Pitu Ntonga Pingga Mputi Tava Kelo (7 buah piring putih bermotif daun kelor), Sapulu Sasio Do Ringgi Rapo Sudaka (99 keping uang ringgit sebagai sedekah, setara uang tunai sebesar Rp2.236.905).

Sanksi tambahan yang diberikan kepada Fuad Plered adalah Nakaputu Tambolo (Putus Leher).

Sidang adat ini digelar berdasarkan aduan To Pangadu, dalam hal ini Ketua Komisariat Wilayah (Komwil) Alkhairaat Sulawesi Tengah, Arifin Sunusi.

Dalam nota pengaduannya, Arifin menyampaikan bahwa pernyataan Fuad Plered disampaikan secara verbal dalam siaran kanal YouTube pada Minggu, 23 Maret 2025 pukul 20.49 WITA.

“Dalam siaran tersebut, Fuad menyebut Guru Tua dengan kata “monyet” dan “pengkhianat”. Ia juga menyatakan bahwa Guru Tua menerima tanah dari pemerintah kolonial Belanda, serta menyampaikan kecurigaan terhadap kurikulum pendidikan Alkhairaat yang didirikan oleh Guru Tua,” urai Arifin.

Menurut Arifin, pernyataan dan tindakan Fuad Plered tersebut tergolong pelanggaran berat dalam hukum adat Ngata Kaili, termasuk dalam kategori Salambivi dan Salakana, serta juga masuk dalam ranah hukum pidana.

Sebelumnya, Arifin menyampaikan bahwa meskipun Fuad Plered tidak hadir, maka sidang adat tetap dilaksanakan dan putusan tetap dijatuhkan.

“Putusan adat itu bisa berupa fisik dan abstrak. Yang abstrak ini misalnya hakim adat menjatuhkan sanksi putus leher. Tentu tidak bisa dilaksanakan secara riil, tapi secara abstrak dalam hukum adat, oleh masyarakat di wilayah adat tanah Kaili, Fuad Plered sudah dianggap mati,” tegas Arifin

Reporter : Ikram/Editor : Rifay