Pungli di Kampung

oleh -
Ilustrasi

OLEH: AMRAN AMIER*

KASUS Lurah Pagimana di Kabupaten Luwuk yang tertangkap tangan melakukan pungutan liar (pungli) adalah bukti bahwa korupsi terjadi dimana-mana. Rasanya tak ada lagi tempat yang bebas korupsi di negeri ini. Korupsi pun terjadi di kampung.

Pungli adalah varian dari korupsi. Modusnya sederhana, memungut atau meminta duit atas pelayanan publik yang diberikan namun tak memiliki dasar hukum dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau gelap-gelapan.

Banyak orang berpandangan, korupsi itu kejahatan kerah putih, jadi hanya terjadi di ruang-ruang publik di perkotaan, atau berkaitan di instansi pemerintah yang besar dan terletak jauh dari kampung. Lihatlah betapa banyak kasus korupsi yang melibatkan orang-orang besar di negeri ini mulai dari bupati, gubernur, menteri bahkan Ketua DPR RI disangka korupsi.

BACA JUGA :  Jangan Sesat Pikir soal HAM

Pandangan ini diperkuat karena korupsi berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang besar. Dan itu hanya ada di kota, sementara di kampung mana ada duit besar yang mengalir. Masyarakat di kampung juga dipandang masih berperilaku sederhana dan gaya hidupnya tak memicu korupsi.

Nyatanya, per hari-hari ini, pandangan itu keliru di negeri ini. Bahkan di kampung pun, orang bisa korupsi. Apakah ini hanya terjadi di negeri ini? Wallahualam. Yang pasti di kampung ada korupsi itu bukan sekadar isu tapi sebuah kenyataan.

BACA JUGA :  Peringkat Daya Saing Digital Indonesia Meningkat: Sulteng Provinsi 10 Besar Terbawah

Dan kasus Lurah Pagimana tadi adalah bukti sahih salahnya pandangan selama ini. Kasus ini melibatkan Lurah Pagimana, Abdul Said Laguni dan sekretarisnya, Sarifan Ahmad, sebagai terdakwa. Mereka terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh tim dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pagimana, bulan lalu. Kasus ini berawal dari adanya Program Prona atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Kelurahan Pagimana.

Kedua tersangka melakukan pungutan Rp200 ribu. Kedua terdakwa juga membuat SKT dengan pungutan bervariasi, Rp250 ribu sampai dengan Rp350 ribu untuk satu SKT.

OTT itu berawal saat tim Kacabjari melakukan pemeriksaan lapangan atas dugaan penyimpangan pembangunan pasar ikan. Saat itu tim mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa selama ini ada pungutan pengurusan sertifikat tanah, sementara prona itu sendiri gratis. Saat tim mendatangi Kantor Kelurahan dan bertepatan mendapatkan tiga warga yang sedang melakukan proses pembayaran sertifikat tanah Prona.

BACA JUGA :  Darurat Watusampu

Maka tertangkaplah kedua tersangka. Cerita pungli di kampung pun mengalir dari sini. Pungli di kampung ini mengisyaratkan bahwa gerakan antikorupsi harus lebih ditingkatkan lagi. ***

*Penulis adalah Redaktur Senior Harian Umum Media Alkkhairaat (MAL)