HAMPIR semua orang pasti mengenal kasur dan bantal berbahan kapuk atau biasa disebut kabu-kabu dengan warna putih lembut seperti kapas.

Bicara soal kapuk bagi warga Donggala memiliki nilai-nilai historis bagian dari diplomasi kultural yang pernah tumbuh dalam masyarakat yang agraris.

Produksi kapuk tidak lepas dari kampung tua di Kabupaten Donggala, yaitu Loli di Kecamatan Banawa dan Desa Dalaka di Kecamatan Sindue di arah utara Teluk Palu. Dalam perkembangannya Loli telah dimekarkan menjadi Desa Loli Tasiburi, Loli Oge, Loli Saluran, Loli Dondo dan Loli Pesua.

Hal menarik, Loli pada zaman kerajaan awal abad ke 20 dikenal pusat industri kasur dan bantal yang empuk.

Secara geografis, sebutan Loli terletak di arah barat Teluk Palu, secara administrasi berada dalam wilayah Kecamatan Banawa. Sebagai kawasan permukiman memiliki cerita sejarah yang cukup menarik diketahui berdasarkan sumber tuturan orang tua adat setempat.

Penduduk aslinya adalah suku Kaili dialek sangkal Unde. Abdul Fattah, tokoh masyarakat di Loli semasa hidupnya, menyebut orang Unde dan orang Inde serta Da’a menganggap asal-muasal leluhur mereka berasal dari Ulujadi.

Sebutan Ulujadi merupakan tempat yang berada di Gunung Gawalise atau Gunung Kamalisis atau orang Unde menyebut Gunung Kavu Malisi. Berdasarkan riwayat mereka adalah turunan dari Tananuru Ulu Jadi.

Dalam catatan Abdul Fattah, ibu negeri orang Unde yang pertama adalah Nggolavatu. Penamaan Nggolovatu diambil dari kejadian saat orang pertama yang penginjakan kaki di wilayah tersebut. Konon mengangkat sebuah batu besar dengan hanya menggunakan rambutnya. Orang tua itu bernama Vasoama, beliau datangnya dari Ulu Jadi.

Seperti cerita orang Kaili kebanyakan bahwa Lembah Palu dulunya adalah laut, karena laut sudah hampir mendekati Ulu Jadi, maka beliau memerintahkan anjingnya untuk mengejar  air  laut sampai  di  suatu  tempat disebut Salu panau atau Tasiburi.

Lantas apa hubungan dengan Desa Dalaka dengan Loli?

Pertanyaan ini sering muncul. Dua-duanya dikenal kampung penghasil kapuk, sama-sama memiliki kultur etnis yang sama, padahal secara geografis berada di tempat yang berbeda. Dalaka berada di arah barat Teluk Palu, luasnya dengan perbatasan garis pantai Teluk Palu hanya sekitar 1 km dan panjang dari tepi pantai ke pegunungan sekitar 9 km.

Kapuk sebagai identitas Loli dan Dalaka merupakan pusat penanaman pohon kapuk. Dulu, penduduknya mayoritas pengrajin kasur dan bantal hasilnya dipasarkan di Donggala dan Kota Palu. Bahkan sampai saat ini Dalaka masih diidentikkan dengan pusat pembuatan kasur dan bantal, walaupun kenyataan tanaman kapuk yang tumbuh tidak sebanyak dua dasawarsa lalu mencapai ratusan bahkan ribuan pohon kini terancam punah.

Penyebab punahnya pohon kapuk, tidak ada peremajaan, menyusul semakin sempitnya lahan dijadikan permukiman yang kian bertambah. Menurut mantan Kepala Desa Dalaka, Basyir, dulu hampir 90 persen di antara mereka berprofesi utama pembuat kasur dan bantal.

Desa ini telah menjadikan kerajinan kapuk sebagai tradisi turun temurun sejak ratusan tahun, apalagi Dalaka tidak memiliki kebun kakao. Kecuali hanya tanah sawah yang luasnya sekitar 53 ha, kadang ditanami kacang tanah. Untuk mempertahankan identitas Dalaka pusat industri  kasur dan bantal yang terkenal, maka kebutuhan bahan baku kapuk sebagian didatangkan dari Provinsi Gorontalo sejak pertengahan dasawarsa 2000-an.

Menurut sumber lisan, penduduk Dalaka menjadi  pengrajin kasur kapuk dimulai sejak zaman Kerajaan Banawa  dipemerintah  Lamarauna  Pue Totua (1902-1930).

Ketika itu raja menyerahkan lahan yang masih kosong untuk ditempati penduduk berasal dari Kampung Loli (Loli Oge/Tasiburi) bagian dari kota pitunggota Kerajaan Banawa.

Secara historis asal-usul penduduk Dalaka  berasal dari Loli yang turun-temurun tetap menggunakan bahasa Kaili dialek Unde seperti halnya bahasa di Loli saat ini. Beberapa tahun lalu di Loli sering digelar sepak bola dengan nama Liga Unde, dimana salah satu club peserta berasal dari Dalaka.

Penanaman kapuk secara besar-besaran pada masa pemerintahan Raja Lamarauna pada tahun 1904. Semenjak itu pula sebagian warga Loli dengan menyeberangi Teluk Palu menuju Dalaka. Bukan saja fisiknya yang bermigrasi, tapi sekaligus sosial kultural ikut pindah. Tatanan adat dan bahasa orang Loli dengan orang Dalaka saat ini tetap memiliki kekerabatan yang tarsus terjalin, terutama kesetiaan mempertahankan bahasa dialek Unde.

Dari aspek bahasa, orang Dalaka terbilang unik, keberadaannya diapik desa-desa yang penduduknya berbahasa Rai yang mayoritas di Kecamatan Sindue dan Sirenja, Pantai Barat Kabupaten Donggala.

Seiring perkembangan pembangunan, Loli yang dulu penghasil kasur dan bantal kini berangsur-angsur pudar menyusul peralihan fungsi lahan kebun  menjadi area tambang galian pasir dan batu. Sejarah tentang kapuk di Loli ini pernah ditulis Risma (saat ini guru Kepsek SMK Negeri 2 Banawa) dalam skripsi untuk program studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Tadulako Palu, 1995.

Tulisan tersebut kemudian menjadi salah satu acuan dalam penulisan buku Sejarah Sosial Sulawesi Tengah diterbitkan Pusat Penelitian Sejarah Untad, 2009.

Sampai kapan Loli dan Dalaka identik dengan kapuk?

Entahlah, yang pasti tanaman pohon kapuk randu terancam punah. Apalagi kapuk tidak masuk dalam program untuk pembudidayaan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Donggala.

Alasan pihak dinas ketika itu, kapuk itu sangat mudah tumbuh sebagai pelindung. Selain itu tanaman kapuk yang dibudidayakan di Loli itu bukan termasuk area hutan. Sangat mudah tumbuh tanpa perlu teknik khusus. Dengan cara menghambur biji-bijian satu buah kapuk saja ke tanah itu dapat tumbuh dengan mudah mencapai ratusan bibit.

Jadi kalau memang mau dibudidayakan agar tidak terancam punah, masyarakat bisa melakukan sebagaimana sebelumnya telah mereka lakukan. 

Yang pasti, realitas di lapangan, sejak masuknya eksploitasi lahan kebun menjadi area tambang di Loli, warga tidak lagi memperhatikan tanaman kapuk. Itu dibuktikan beberapa pohon yang tersisa di lintasan jalan menuju Donggala, dibiarkan jatuh tanpa ada yang memungut.

Padahal sekitar dua dasawarsa lalu, di tepi jalan cukup ramai dengan pengrajin bantal dan Kasur. Kini tinggal kisah yang tercecer dalam lembaran sejarah. Loli telah kehilangan identitas sebagai penghasil kapuk randu.**

Penulis : Jamrin Abubakar