Kekhawatiran pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala maupun warga tentang kendaraan tradisional dokar Donggala akan punah, akhirnya betul-betul jadi kenyataan.
Kota tua Donggala yang pernah memiliki ratusan unit kendaraan dokar atau bendi yang lalu lalang setiap saat, kini betul-betul punah. Tak satu pun yang ada di saat Pemerintah kabupaten Donggala telah mencanangkan kota wisata. Padahal sejak tahun 2008 lalu pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala pernah mengimpikan adanya partisipasi kusir dokar dalam mendukung kemajuan industri pariwisata dalam kota. Termasuk pada setiap memeriahkan pawai HUT Kabupaten Donggala maupun HUT RI pada bulan Agustus tahun berjalan.
“Karena makin langkanya dokar di Donggala itulah sehingga kami berpikir mau menghidupkan kembali gairah dalam penggunaan transportasi tersebut bentuknya dilakukan kerja sama dalam paket wisata semacam jalan-jalan dalam kota Dongala melalui dokar,“ ucap janji Suaib ketika itu.
Keinginan itu kini hanya impian. Dokar betul-betul hilang dalam masyarakat kota kecil Dongggala secara berangsur-angsur. Hingga awal Januari 2010 silam tinggal satu unit kendaraan dokar yang beroperasi di kota tua tersebut milik Ismet sekaligus kusir terakhir beroperasi tahun 2011. Ketika itu Ismet menceritakan, sejak beberapa tahun terakhir kendaraan dokar berangsur-angsur berkurang. Tahun 2009 lalu saja hanya ada 4 unit kemudian tahun 2010 lalu tinggal Ismet sendiri yang jadi kusir. “Sebetulnya dulu ada banyak kusir dokar yang betul-betul mencari penghidupan dari pekerjaan ini,” cerita Ismet mengenang.
Para kusir dokar telah beralih jadi tukang ojek dengan lebih dahulu menjual dokarnya untuk membeli kendaraan sepeda motor. Hal itu dilakukan menyusul biaya pemeliharaan ternak kuda sangat besar dan pakan ternak berupa dedak makin sulit didapatkan. “Kalau kendaraan ojek biaya pemeliharannya murah dan praktis,” kata seorang tukang ojek mantan kusir dokar.
Punahnya kendaraan tradisional itu selain disebabkan biaya pemeliharaan cukup besar juga tidak mampu bersaing dengan kendaraan ojek dan becak. Persaingan mulai terasa sejak beroperasinya kendaraan becak tahun 1998.
Pada zamannya, kendaraan dokar di kota Donggala merupakan bagian dari masa kejayaan pelabuhan. Siang dan malam dokar beroperasi melayani warga yang pergi ke pasar atau ke toko, mengangkut penumpang dan barang-barang dari area pelabuhan. Terutama penumpang kapal lokal yang akan ke terminal Donggala di Kelurahan Tanjung Batu (Lampong) untuk tujuan Palu. Begitu pula sebaliknya di terminal penumpang tak pernah sepi dengan tujuan pelabuhan maupun ke toko orang Tionghoa sebagai langganan jual kopra dan rotan. Di terminal, dokar selalu hilir-mudik dan tak pernah cukup saking banyaknya penumpang datang ke Donggala maupun yang menuju ke Kota Palu dengan menggunakan taksi sedan dari terminal. Kesibukan pelabuhan berdampak pula dengan pertumbuhan taksi penumpang Donggala-Palu hingga mencapai 100 unit taksi beroperasi setiap hari. Kondisi tersebut berlangsung hingga awal dekade 2000 dan selanjutnya sepi walau fasilitas terminal yang direhab tahun 2009 lebih baik dibanding sebelumnya. Surut dan pudarnya masa keemasan pelabuhan bukan saja berdampak matinya kendaraan dokar, tapi berdampak pula berkurangnya taksi yang beroperasi yang hingga tahun 2013 tinggal sekitar 10 unit. Itupun dalam sehari paling sekali jalan pergi-pulang Donggala – Palu. Ini pun sejak 2019 silam tidak ada lagi taksi sedan atau merek kijang yang beroperasi. Semua warga yang bepergian lebh memilih menyewa motor ojek atau mobil rental (sewaan).
Ismail Husen Lamongke (75) warga yang pernah memiliki 4 unit dokar, menceritakan sejak tahun 1950-an kota Donggala sangat identik dengan dokar. Bahkan awalnya roda dokar yang dipakai masih terbuat dari kayu berlapis besi (roda pedati) cukup lama bertahan, baru awal tahun 1980-an beralih ke roda ban karet.
“Kendaraan tradisional itu pernah menjadi kekhasan Donggala sehingga orang yang datang berkunjung selalu memanfaatkan dokar untuk keliling kota sekedar santai atau pergi belanja, tapi sekarang tinggal kenangan,” cerita Ismail Husen.
Setiap peringatan hari-hari bersejarah seperti 17 Agustus maupun perayaan keagamaan, pemilik dokar selalu berpartisipasi dalam pawai. Para kusir dengan suka rela menghiasi dokarnya untuk keliling kota dan hal itu menjadi daya tarik tersendiri jadi tontonan warga. Anak-anak sekolah pergi dan pulang sekolah selalu mengendarai dokar sehingga menjadi pemandangan menarik setiap hari. Suara-suara hentakan kaki kuda siang dan malam seakan tak pernah berhenti di hampir seluruh jalan kota bagai irama musik tersendiri bagi warga. Banyak pelajar pulang sekolah mencari rezeki dengan menjadi kusir cadangan maupun pengganti sementara bagi orang tuanya yang jadi kusir .
Kejayaan dan partisipasi para kusir dokar yang pernah mewarnai perjalanan wisata kota tua Donggala seiring dengan keberadaan pelabuhan yang ramai. Kini tinggal kenangan yang tak bisa disaksikan generasi muda masa kini dan mendatang. Sementara janji-janji pejabat birokrat Pemkab Donggala tinggal cerita yang ingin menggairahkan kembali nuansa kendaraan tradisional dengan pelatihan pemahaman tentang khazanah wisata, hanya impian yang tak pernah terwujud. Selamat tinggal kendaraan tradisonal di kota tua Donggala. (JAMRIN AB)