PALU– Sebanyak 40 desa di Sulawesi Tengah (Sulteng) berisiko tinggi terdampak krisis iklim, 9 kabupaten rawan banjir dan longsor, termasuk Palu, Sigi, dan Donggala.
Di Donggala, banjir rob masih mengkhawatirkan dari waktu ke waktu dan mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti kegiatan ekonomi hingga akses anak-anak ke sekolah. Lebih jauh lagi, hanya 45 persen rumah tangga yang memiliki fasilitas WASH (sumber air minum dan toilet) memadai.
Kondisi ini membuat masyarakat di Donggala semakin rentan terpapar penyakit menular–salah satu penyebab utama stunting.
Sementara itu, Sigi menghadapi sistem irigasi yang terganggu dan kelangkaan air menjadi tantangan masyarakat. Hanya 50 persen rumah tangga di Sigi memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik.
Belum lagi, masyarakat Sigi harus menghadapi banjir yang mengganggu area perkebunan dan menjadi penyebab kegiatan pertanian di Sigi belum pulih sepenuhnya.
Riziq (18), salah satu anggota Child Campaigner Sulawesi Tengah tinggal di Kabupaten Sigi, membenarkan hal tersebut. Pada September lalu, desa tempat Riziq tinggal terendam banjir karena curah hujan yang tinggi.
“Belum lama ini September, kami merasakan curah hujan di daerah kami cukup panjang sehingga mengakibatkan sawah-sawah terendam banjir. Salah satunya di daerah saya, Desa Pakuli Utara, Kabupaten Sigi. Curah hujan yang tinggi tu menyebabkan sungai yang ada meluap dan menghantam pemukiman warga. Banyak juga lahan pertanian warga yang berada di bantaran sungai terendam banjir, sehingga hasil pertanian seperti padi, jagung, tidak bisa dijual warga ke pasar. Hal itu menyebabkan tidak ada penghasilan didapatkan karena di daerah saya mayoritas pekerjaan masyarakatnya sebagai petani dan berkebun,” cerita Riziq.
“Berangkat dari masalah-masalah lingkungan ini, Save the Children menggerakkan anak-anak di Sulteng agar memiliki kesadaran kuat tentang bahaya krisis iklim. Misalnya, pada Mei lalu, kami memfasilitasi inisiasi anak dan orang muda yang tergabung dalam Child Campaigner Sulteng dan Forum Anak Labean untuk melakukan aksi bersih pantai dan tanam bakau di Pantai Mapaga, Kabupaten Donggala. Hari ini, mereka menginisiasi Pentas Seni Krisis Iklim di Palu,” jelas Dewi Sri Sumanah, Media & Brand Manager Save the Children Indonesia dalam keterangan tertulis diterima MAL Online.
Anak-anak yang tergabung dalam Child Campaigners Sulawesi Tengah menginisiasi Pentas Seni Krisis Iklim yang diselenggarakan pada Ahad 9 Oktober 2022. Acara ini merupakan aktivitas kampanye Aksi Generasi Iklim sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dampak krisis iklim bagi masyarakat di Palu, khususnya anak-anak dan orang muda.
Dalam Pentas Seni Krisis Iklim tersebut, akan ada beberapa penampilan seperti musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan monolog, serta diskusi mengenai krisis iklim bersama anak-anak. Acara-acara dengan pendekatan kontemporer ini diharapkan mampu menjadi cara baru untuk memperkuat peningkatan kesadaran terkait isu krisis iklim karena dikemas dengan hal-hal menarik.
“Melalui kampanye Aksi Generasi Iklim ini, kami berharap anak-anak yang melihat kampanye ini jadi lebih tahu tentang apa itu krisis iklim, bagaimana mitigasi dan adaptasi dari dampak perubahan iklim, dan tentunya anak-anak jadi lebih siap melewati tantangan dan rintangannya. Karena mungkin dampak krisis iklim ke depannya akan jauh lebih besar dirasakan oleh anak-anak,” jelas Riziq.
Save the Children mendukung penuh kegiatan Aksi Generasi Iklim yang digerakkan oleh anak-anak dan orang muda yang tergabung sebagai Child Campaigners. Saat ini, sudah ada lima wilayah yang memiliki Child Campaigner, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jakarta. Dalam payung kampanye Aksi Generasi Iklim, anak-anak dan orang muda diberikan peningkatan kapasitas terkait bahaya krisis iklim, serta didorong untuk menularkan pengetahuan mereka dengan cara-cara yang menarik massa, serta melakukan suatu perubahan kecil untuk menjaga bumi kita. (IKRAM)