Di antara bukti-bukti kejayaan kota Donggala di masa lampau masih adanya bangunan-bangunan tua yang tersisa dan puing-puing bekas bangunan yang terlantar. Sejak peralihan fungsi utama pelabuhan dari Donggala ke Pantoloan awal 1980-an, adanya banyak pengusaha kemudian meninggalkan kota ini pindah ke kota lain untuk berusaha. Akibatnya banyak bangunan yang kosong dan rusak dimakan zaman, bahkan banyak yang kemudian roboh.
Pemandangan bangunan tua tak terawat menjadi panorama sehari-hari di tengah kota tua Donggala yang statis. Selama berpuluh-puluh tahun tidak ada dinamika pergerakan ekonomi, sehingga pusat pertokoan di Jalan Kemakmuran, Kelurahan Boya, Donggala tinggal puing-puing selama dua puluh tahun. Baru belakangan dibersihkan setelah diselimuti belukar dan rumput yang menutupi bangunan yang pernah terbakar.
Puing-puing serupa juga terdapat di kawasan Jalan Mutiara dekat pelabuhan, juga terdapat reruntuhan yang mencolok sejak terbakar tahun 2010 silam. Kedua kawasan puing-puing bangunan bekas kebakaran tersebut merupakan aset etnis Arab yang pernah disewa etnis para pengusaha Cina di Donggala.
Beberapa rumah toko yang tutup sejak lama, berdampak pada kondisi jalan yang dulu ramai setiap hari dan malam, akhirnya jadi sepi. Ditambah beberapa kantor pemerintah dan perdagangan ikut ditutup, di antaranya Kantor Bea Cukai Donggala terletak di kompleks Pelabuhan Donggala. Bangunan kantor ini diperkirakan paling mewah dan modern kali pertama di Provinsi Sulawesi Tengah. Berlantai tiga dibangun tahun 1968 masa pemerintahan Bupati Donggala Abdul Azis Lamadjido. Merupakan bangunan kedua setelah bangunan pertama yang dibangun pemerintah Belanda awal abad ke 20 di area yang sama sudah lama rusak saat revolusi.
Kantor Bea Cukai yang dulu dikenal dengan sebutan Douane itu tutup sejak awal 1980-an ketika aktivitas Bea dan Cukai dipindahkan ke Pantoloan. Untung saja kondisi bangunan ini belum menjadi puing-puing, masih utuh walau tak terurus.
Lain halnya bangunan eks rumah pejabat KPM Donggala, semacam PELNI yang berada di seputar Jalan Lamaruna, Kelurahan Tanjung Batu. Beberapa bagian bangunan sudah rusak berat, terutama bagian dapur telah menjadi puing-puing dan seluruh jendela dan pintunya rusak dan bahkan copot, sehingga menjadi kandang kambing milik warga. Seluruh lantai bagian dalam ruangan sudah rusak, kotor dan bau busuk, serta penuh coretan menambah kekumuhan. Betul-betul terlantar, padahal peninggalan berarsitektur zaman Belanda ini termasuk bangunan tua. Atapnya terbuat dari kayu sirap yang merupakan ciri khas bangunan zaman dahulu. Atapnya bocor sejak lama sehingga setiap hujan air tergenang dalam ruangan.
Tak kalah memprihatinkan adalah bekas kantor dan gudang perusahan negara (BUMN) Aduma Niaga (PN. Budi Bhakti) yang berhadapan di area pelabuhan, Kelurahan Boya. Bangunan ini bergaya kolonial dapat dikategorikan cagar budaya bernilai sejarah penanda kejayaan era niaga kota Donggala di masa lampau. Kantor ini namanya silih berganti sesuai aturan negara sejak nasionalisasi dari pemerintah Belanda. Kini masuk aset PT. PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) salah satu BUMN hasil merger dari beberapa perusahan perniagaan.
Bentuk bangunan berlantai dua sejak duapuluh tahun terakhir atapnya bocor, sehingga air mengalir ke dalam gedung mengakibatkan lantai dua berbahan kayu jadi hancur.
Konon, ini merupakan bangunan milik BUMN di Sulawesi Tengah berukuran tinggi dan termegah pertama di daerah ini. Bila dicermati dari arah depan bangunan sepertinya berlantai tiga, namun sesungguhnya hanya dua. Hal itu sebagai simbol kedidayaan sebuah perusahan negara yang cukup maju pada zamannya. Tetapi semua itu tinggal kenangan, kini hanya puing-puing sejarah masa lalu yang terlantar di tengah kota yang menua.
Dinding-dindingnya berlumut, ditumbuhi pohon beringin yang tingginya sudah mencapai sekitar 10 meter. Selain menjalar di ke atap juga menggerogoti tembok hingga tembus ke bagian dalam dan akar-akar beringin menempel ke dinding, membuat bangunan keropos. Nasib tak jelas juga dialami bekas gudang kopra yang ulu dikenals ebagai Gudang PKKD (Pusat Koperasi Kopra Daerah) di tepi pantai Kelurahan Tanjung Batu Donggala. pengalihan status kepemilikan dari IKKI (Induk Koperasi Kopra Indonesia) ke perseorangan telah berujung sengketa dengan PUKUD.
Sejak 2009 lalu hingga kini belum ada putusan Kasasi dari Mahkamah Agung terhadap gugatak kembali yang dilakukan PUSKUD setelah PTUN Sulteng membatalkan keputusan PN. Palu yang memenangkan IKKI sebagai pemilik. Kondisi tiga bangunan tidak kalah memprihatinkan. Kondisinya keropos, bahkan salah satu gudang sudah rusak tak terawat karena pemerintah tak mempedulikan untuk dijadikan cagar buday. Akibatnya Donggala yang telah ditasbihkan Bupati Kasman Lassa sebagai kota wisata itu, hanya penuh dengan puing-puing sejarah masa lalu yang terabaikan.
Miris sekali, sisa kejayaan dan megah itu hanya jadi saksi bisu yang tak lagi diketahui generasi masa kini. Seharusnya pemerintah melakukan tindakan revitalisasi untuk wisata. (JAMRIN ABUBAKAR)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.